Senin, 09 Februari 2009

Pernikahan

Oleh: A. Mustofa Bisri

Pernikahan merupakan salah satu sunnah Rasul SAW dan merupakan anjuran agama. Pernikahan yang disebut dalam Quran sebagai miitsaaqun ghaliizh, perjanjian agung, bukanlah sekedar upacara dalam rangka mengikuti tradisi, bukan semata-mata sarana mendapatkan keturunan, dan apalagi hanya sebagai penyaluran libido seksualitas atau pelampiasan nafsu syahwat belaka.


Penikahan adalah amanah dan tanggungjawab. Bagi pasangan yang masing-masing mempunyai niat tulus untuk membangun mahligai kehidupan bersama dan menyadari bahwa pernikahan ialah tanggungjawab dan amanah, maka pernikahan mereka bisa menjadi sorga. Apalagi, bila keduanya saling menyintai.


Nabi Muhammad SAW telah bersabda yang artinya, “Perhatikanlah baik-baik istri-istri kalian. Mereka di samping kalian ibarat titipan, amanat yang harus kalian jaga. Mereka kalian jemput melalui amanah Allah dan kalimahNya. Maka pergaulilah mereka dengan baik, jangan kalian lalimi, dan penuhilah hak-hak mereka.”

Ketika berbicara tentang tanggungjawab kita, Rasulullah SAW antara lain juga menyebutkan bahwa “suami adalah penggembala dalam keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya dan isteri adalah penggembala dalam rumah suaminya dan bertanggungjawab atas gembalaannya.”

Begitulah, laki-laki dan perempuan yang telah diikat atas nama Allah dalam sebuah pernikahan, masing-masing terhadap yang lain mempunyai hak dan kewajiban. Suami wajib memenuhi tanggungjawabnya terhadap keluarga dan anak-anaknya, di antaranya yang terpenting ialah mempergauli mereka dengan baik. Istri dituntut untuk taat kepada suaminya dan mengatur rumah tangganya.

Masing-masing dari suami-isteri memikul tanggung jawab bagi keberhasilan perkawinan mereka untuk mendapatkan ridha Tuhan mereka. Apabila masing-masing lebih memperhatikan dan melaksanakan kewajibannya terhadap pasangannya daripada menuntut haknya saja, Insya Allah, keharmonisan dan kebahagian hidup mereka akan lestari sampai Hari Akhir. Sebaliknya, apabila masing-masing hanya melihat haknya sendiri karena merasa memiliki kelebihan atau melihat kekurangan dari yang lain, maka kehidupan mereka akan menjadi beban yang sering kali tak tertahankan.

Masing-masing, laki-laki dan perempuan, secara fitri mempunyai kelebihan dan kekurangannnya sendiri-sendiri. Kelebihan-kelebihan itu bukan untuk diperbanggakan atau diperirikan. Kekurangan-kekurang pun bukan untuk diperejekkan atau dibuat merendahkan. Tapi semua itu merupakan peluang bagi kedua pasangan untuk saling melengkapi. Kedua suami-isteri bersama-sama berjuang membangun kehidupan keluarga mereka dengan akhlak yang mulia dan menjaga keselamatan dan keistiqamahannya selalu. Dengan demikian akan terwujudlah kebahagian hakiki di dunia maupun di akhirat kelak, Insya Allah.


Baca Selengkapnya......

Senin, 15 September 2008

Halal Bi Halal

Istilah halalbihalal (menulisnya digandeng, jangan dipisah-pisah), meskipun kedengarannya seperti istilah Arab, sebenarnya ‘asli’ Indonesia atau setidaknya Melayu. Meski bahan bakunya (halal dan bi) dari Arab, orang Indonesia/Melayulah yang merakitnya menjadi istilah sendiri.
Di Arab sendiri- dalam kamus-kamus Arab maupun percakapan sehari-hari-istilah halal bihalal termasuk pengertiannya, tidak ada dan tidak dikenal.
Istilah halalbihalal dan pengertiannya memang khas Indonesia. Menurut KBBI, halalbihalal ialah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Ini tradisi baik sekali yang hanya dijumpai di Indonesia/Melayu, meskipun sayang kini sudah mengalami degradasi.
Tradisi maaf-memaafkan di lebaran, setelah puasa Ramadhan ini merupakan salah satu bukti kearifan pendahulu-pendahulu kita yang pertama-tama mentradisikannya. Dulu, sebelum orang terlalu sibuk seperti sekarang, apabila datang lebaran, sehabis shalat ‘Id, masyarakat saling mengunjungi dan saling meminta maaf.

Saya masih sempat menyaksikan orang-orang tua dulu meminta maaf kepada sahabat, kerabat, atau saudara mereka dengan ungkapan penyesalan yang rinci agar mendapatkan pemaafan. Bukan hanya meminta maaf, tapi juga meminta halal apabila ada hak Adami yang termakan atau terpakai dengan sengaja atau tidak sengaja. Mereka yang dimintai maaf dan dimintai halal, biasanya dengan mudah memberikannya sambil balik meminta yang sama. Mereka saling memaafkan dan saling menghalalkan. Halalbihalal.
Para pendahulu yang mentradisikan tradisi mulia ini pasti tahu bahwa Rasulullah SAW menjamin mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata hanya karena iman dan mencari pahala Allah, akan diampuni dosa-dosa mereka yang sudah-sudah.“Man shaama Ramadhaana iimaanan wah tisaaban, ghufira lahu maa taqaddaa min dzambihi.” (Hadits shahih muttafaq ‘alaih dari sahabat Abu Hurairah r.a).
Hebatnya, mereka para pendahulu itu, juga tidak lupa bahwa selain dosa hamba kepada Tuhannya, masih ada satu dosa lagi yang justru lebih perlu diperhatikan; yaitu dosa hamba kepada sesamanya. Di banding dosa kita kepada Allah, dosa kita kepada sesama sebenarnya jauh lebih gawat. Kenapa? Karena Allah, seperti kita ketahui, Maha Pengampun dan suka mengampuni. Sementar, manusia tidak demikian. Manusia sulit. Padahal, dosa kita terhadap sesama tidak akan diampuni sebelum yang bersangkutan memaafkan. Tanggungan kita kepada sesama akan tetap menjadi tanggungan kita, sebelum yang bersangkutan menghalalkannya.
Rasulullah SAW berpesan agar apabila diantara kita ada yang mempunyai kesalahan kepada seseorang, apakah menyangkut kehormatannya atau apa, hendaklah dimintakan halal sekarang juga sebelum uang dinar dan dirham tidak lagi ada gunanya; jika (tidak,) bila dia mempunyai amal saleh, nanti akan diambil dari amalnya itu seukur kesalahannya dan bila tidak memiliki kebaikan, akan diambil dari dosa-dosa orang yang disalahinya dan dibebankan kepadanya “Man kaanat lahu mazhlumatun liahadin min ‘irdhihi au syai-in falyatahallalhu minhu alyauma qabla an laa yakuuna diinarun walaa dirhamun; in kaana lahu ‘amalun shaalihun ukhidza minhu biqadri mazhlumatihi, wain lam takun lahu hasanaatun ukhidza min sayyiaati shaahibihi fahumila ‘alaihi.” (HS riwayat Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah r.a)
Marilah kita ingat-ingat, apakah kita pernah menyakiti sesama. mungkin kita tidak sengaja pernah mengucapkan kata-kata yang melukai saudara kita. Kadang-kadang, karena kita merasa berniat baik, menegur kawan untuk memperbaikinya, lalu kita mengabaikan kesantunan bicara kita dan menyinggung perasaan kawan kita itu. Mungkin kita sudah berhati-hati, tapi tetap saja ada sikap kita yang membuat orang lain sakit hati. Maka adalah bijaksana, apabila dalam kesempatan lebaran ini-setelah mengharap dosa-dosa kita kepada Allah diampuni-kita memerlukan meminta maaf dan meminta halal terutama kepada mereka yang kita perkirakan pernah kita salahi.
Saya sendiri dalam kesempatan ini juga ingin menyampaikan tahniah ‘Id kepada segenap pembaca dan dengan kerendahan hati memohon maaf lahir batin atas segala kekhilafan dan kesalahan saya. ‘Iedun sa’ied, a’aadahuLlahu ‘alaikum bissaaadati walkhairi warrafaahiyah wakullu ‘aamin wa antum bikhair.


Oleh: A. Mustofa Bisri
Baca Selengkapnya......

NUZULUL QURAN

Bulan Ramadan menjadi sangat istimewa terutama karena pada bulan ini, kitab suci Quran turun, nuzuulu al-Quran al-kariim. Itulah antara lain sebabnya –menurut beberapa hadis sahih-- setiap malam bulan Ramadan, malaikat Jibril turun menemui Rasulullah SAW untuk ‘bertadarus’ bersama.

Quran boleh jadi merupakan satu-satunya kitab suci Allah yang paling banyak dihafal dan dibaca. Quran dibaca tanpa mengerti artinya pun mendatangkan pahala. Mereka yang membacanya dengan lancar dijanjikan akan bersama-sama para rasul yang mulia dan mereka yang membacanya gratul-gratul, tidak lancar akan diganjar double. Demikian menurut hadis shahih riwayat imam Muslim dari sayyidah A’isyah r.a.

Quran adalah KalamuLlah yang juga selalu dikatakan oleh setiap muslim –dan seharusnya memang—menjadi pedoman hidup. Bahkan Quran yang turun secara bertahap telah membentuk kepribadian pemimpin agung Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW yang diibaratkan sebagai ‘Quran berjalan’, adalah sosok manusia teladan yang sempurna. Rasulullah SAW yang diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur, al-akhlaaqul kariimah, adalah orang yang paling luhur akhlaknya. Rasulullah-lah orang pertama yang mengamalkan Quran.


Meskipun kita, kaum muslimin, tidak menangi, tidak mengalami hidup bersama, Kanjeng Nabi Muhammad SAW , sebenarnya kita pun tidak kesulitan mengikuti jejak dan meneladaninya. Karena Quran yang menjadi pedoman, secara otentik masih ada di tengah-tengah kita. Apalagi sejarah tentang pribadi Rasulullah SAW dengan mudah kita dapatkan dan baca.
Tapi mengapa kita –termasuk banyak tokoh yang dianggap pemimpin—kaum muslimin seperti tidak menggunakan Quran sebagai pedoman dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan hidup? Rasulullah SAW misalnya, sesuai firman Allah SWT dalam Quran, tidak pernah tertipu oleh dunia dan kemilau materi; tapi kita –termasuk yang dijuluki pemimpin agama—masih banyak yang tergiur dunia dan menganggap materi sebagai yang paling pokok.
Raslullah SAW, sesuai firman Allah dalam Quran, sangat santun dan lembut; apabila berbicara tidak kasar; tapi ada saja di antara kita kiai atau ustadz --bahkan hafal Quran—yang dengan fasih mencaci-maki orang. Rasulullah SAW, sesuai ajaran Quran, bila beramar-makruf-nahi-munkar, dilandasi kasih-sayang, dengan cara makruf dan tidak munkar; bicaranya tidak pernah menyinggung pribadi; tapi sekarang, ada saja –dan mungkin banyak—mereka yang dijuluki da’I, sarjana agama, bila beramar-makruf-nahi-munkar dilandasi kebencian, tidak dengan cara makruf dan belum merasa puas bila tidak melukai pribadi-pribadi. Mengapa?

Mungkin hal ini semua bisa kita kembalikan kepada sikap kita terhadap Quran selama ini. Jangan-jangan, selama ini, Quran hanya lebih kita anggap sebagai jimat; atau untuk nyuwuk; atau hanya kita baca setiap Ramadan secara ngebut seperti mengejar setoran (Toh sudah dapat pahala). Atau lebih jauh, Quran kita telaah untuk mencari dalil pembenar bagi sikap atau kepentingan duniawi kita.
Itulah sebabnya beberapa kali saya mengusulkan agar MUI –dari pada hanya mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial—melakukan survey yang serius tentang perlakuan kaum muslimin terhadap kitab sucinya, Quran ini. Kaum muslimin yang mayoritas di negeri ini, berapa persenkah yang membaca Quran? Dari sekian persen yang membaca Quran itu, berapa persen yang mengerti maknanya? Dari sekian persen yang mengerti maknanya itu, berapa persen yang mengamalkannya? Kalau MUI atau organisasi-organisasi Islam yang lain tidak mampu, bisa minta tolong kepada salah satu lembaga-lembaga survey yang biasa mensurvey hasil pemilu atau pilkada itu.

Jika hal itu dilakukan, insyaAllah hasilnya akan bisa menjawab banyak pertanyaan; misalnya, kenapa banyak kaum muslimin yang kelakuannya bertentangan dengan Quran dan tidak sesuai dengan teladan Rasul mereka seperti beberapa yang saya contohkan di atas. Dan tidak mustahil hasil survey itu bisa menjadi bahan utama untuk memecahkan banyak permasalah bangsa; mengingat bahwa kaum muslimin, pemilik Quran, adalah mayoritas penduduk negeri ini.

Wallahu a’lam.

Oleh: A. Mustofa Bisri
Baca Selengkapnya......

Senin, 01 September 2008

MARHABAN YA RAMADHAN

Oleh: A. Mustofa Bisri

Setiap kali datang bulan Ramadan, kaum muslimin menyambutnya dengan menyatakan ”Marhaban ya Ramadhan!”, ”Selamat Datang, Ramadan!”. Seolah-olah Ramadan merupakan tamu yang dinanti-nantikan kedatangannya.
Tapi tamu yang dinanti-nantikan kedatangannya, belum tentu karena tamunya itu sendiri. Sering kali orang menanti-nanti kedatangan tamu karena mengetahui dan mendambakan apa –atau apa-apa-- yang dibawa si tamu.
Mungkin memang ada yang menanti-nanti datangnya bulan Ramadan karena alasan yang bersifat relegi atau bahkan spiritual; namun banyak yang menyambut bulan itu justru karena keistimewaan-keistimewaan duniawi yang menyertainya.
Industri pertelevisian misalnya, jauh-jauh hari –jauh sebelum para kiai pesantren menyusun jadwal pengajian pasanan— sudah menyiapkan jadwal acara yang akan ditayangkan selama bulan Ramadan. Artis-artis dan ustadz-ustadz metropolitan jauh-jauh hari sudah banyak yang dikontrak untuk mengisi acara-acara bulan suci. Pedagang-pedagang jauh-jauh hari sudah ancang-ancang menaikkan harga kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama makanan. Ibu-ibu rumah tangga banyak yang sudah menyiapkan menu-menu istimewa yang akan disuguhkan dalam acara-acara buka dan sahur nanti. Instansi-instansi dan ormas-ormas (orpol-opol tentu tidak mau ketinggalan) sudah menyusun agenda buka bersama dengan acara-acara ’kerohanian’ dan atau sekaligus konsolidasi. Bagi mereka yang menjadi calon dan menghadapi pilihan-pilihan --pilkada; pilgub; pileg pilihan legislatif)— bulan Ramadan (ada yang menyebut ’Bulan Kemenangan’) tentulah merupakan medan yang sangat diperhitungkan kaitannya dengan taktik-strategi pemenangan.

Yang mungkin tidak jelas niat dan tujuannya adalah mereka yang menyongsong bulan suci Ramadan ini dengan agenda melakukan swiping, termasuk menswiping warung-warung yang buka di siang hari. Untuk menghormati bulan Ramadan ataukah untuk membantu mereka agar kuat puasa karena tidak banyak godaan?
Tanpa dihormati, bulan Ramadan sudah sangat terhormat. Ramadan sangat terhormat terutama karena pada bulan ini Kitab suci Al-Quran diturunkan (Baca Q. 2: 185). Pada bulan ini, seperti diberitakan oleh Rasulullah SAW, pintu sorga dibuka (HR Bukhori Muslim dari shahabat Abu Hurairah).
Justru karena keterhormatan Ramadan itulah, kaum beriman dengan gairah, menunggu-nunggu kedatangannya. Mereka ingin mendapatkan berkahnya. Terloberi keterhormatannya. Pada bulan suci, bulan dimana diturunkan kitab suci ini, mereka ingin benar-benar mensucikan diri; setelah sebelas bulan boleh jadi tergelepoti oleh noda-noda yang menghambat perjalanan mereka menuju hadiratNya.
Pada bulan dimana pintu sorga dibuka, adalah kesempatan emas bagi mereka yang ingin memasukinya. ”Semua umatku masuk sorga;” sabda Rasulullah SAW, ”kecuali mereka yang tidak mau.” Adakah orang yang tidak mau atau tidak ingin masuk sorga? Mungkin setiap mulut akan menjawab, tidak ada. Semua orang mau dan ingin masuk sorga. Hanya saja jawaban mulut ini masih perlu diuji dengan perilaku dan perbuatan. Bila misalnya sorga berada di barat dan Rasulullah SAW menuju kesana; sekalipun Anda mengatakan mau dan ingin masuk sorga, tapi Anda berjalan menuju ke timur, siapakah yang percaya Anda mau dan ingin ke sorga?
Memang mulut kita sering kali berbeda bahkan berlawanan dengan tindakan kita. Mulut kita mengatakan, misalnya, politik itu kotor, tapi kita tak juga beranjak pergi dari kubangan politik. Mulut kita mengkritik dan mengatakan wakil rakyat brengsek, tapi kita terus berlomba mendaftarkan diri jadi calon wakil rakyat. Kita berteriak-teriak hormatilah bulan suci Ramadan, tapi tindakan kita justru menodainya. Tentu karena inilah, kelak di hari kiamat, mulut-mulut kita dikunci dan tangan-tangan kita yang berbicara, kaki-kaki kita yang bersaksi (Baca Q. 36: 65).
Di bulan Ramadan lagi-lagi Allah menunjukkan rahmatNya kepada kita, hamba-hambaNya ini. Ia menjadikan bulan suci ini waktu khusus untuk kita melatih diri menjadi manusia yang lurus dan jujur. Lurus dan jujur kepada diri sendiri dan kepadaNya.
Lurus dan jujur dalam pengabdian. Lurus dan jujur dalam beribadah kepadaNya. Sesuatu yang manfaatnya kembali kepada diri kita sendiri.
Dalam berpuasa, tak ada seorang pun yang tahu apakah kita benar-benar berpuasa atau apalagi apakah kita benar-benar berpuasa karena Allah? Tidak ada yang tahu kecuali Allah. Ramadan hanyalah antara kita dan Allah. Maka puasa Ramadan Ia sendiri yang akan mengganjarnya.
Marhaban ya Ramadhan, Selamat Datang Ramadan!
Baca Selengkapnya......

Selasa, 26 Agustus 2008

Nasehat Imam Ghazali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya….pertama,”Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab “orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua…. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Murid -muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga…. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al A’Raf 179).Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72).Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”…Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.
Dan pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”…Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri
Baca Selengkapnya......

Jumat, 15 Agustus 2008

Puasa dan Takwa

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Puasa diwajibkan atas kita orang-orang yang beriman. Kita yang telah berikrar lahir-batin bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah.
Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita. Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan, agung bukan karena diagungkan, berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula, Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa

Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.

Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

(QS. Al-Baqarah: 183) "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."


Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akherat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya, hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13).

Nah puasa, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam ayat 183 al-Baqarah di atas, merupakan sarana kita untuk mencapai ketakwaan yang berarti pada gilirannya meraih kebahagian di dunia dan akherat..

Takwa sendiri lebih sering diucapkan ketimbang diterangkan. Ini barangkali karena banyaknya definisi. Intinya-sejalan dengan maknanya secara bahasa-ialah penjagaan diri. Penjagaan diri dari apa? Ada yang mengatakan penjagaan diri dari hukuman Allah dengan cara mentaati-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari melakukan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai mengikuti hawa nafsu dan tergoda setan. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai tidak mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dan masih banyak lagi pendapat yang jika kita cermati, semuanya berujung pada satu makna. Perbedaannya hanya pada ungkapan tentang dari apa kita mesti menjaga diri.

Orang mukmin yang menjaga dirinya terhadap seretan hawa nafsunya dan atau godaan setan, berarti dia menjaga diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan dari melakukan hal-hal yang dilarang-Nya; berarti, dia menjaga diri agar tetap mengikuti jejak Rasullah SAW; berarti menjaga diri dari hukuman Allah dan dijauhkan dari-Nya.
Ibarat berjalan di ladang ranjau, orang yang bertakwa senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal yang dapat mencelakakannya.

Puasa, seperti diketahui, bukanlah sekedar menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum. Seandainya sekedar menahan diri dari makan dan minum pun sudah merupakan latihan untuk dapat menguasai dan menjaga diri karena Allah. Dalam puasa, melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena Allah secara nalar jauh lebih mudah. Orang yang berpuasa karena orang, misalnya, bisa saja makan atau minum di siang hari secara sembunyi-sembunyi. Makan makanannya sendiri, minum minumannya sendiri, apa susahnya? Tapi untuk apa? Karena Allah-lah yang membuat orang mukmin bersedia menahan lapar, tidak makan makanannya sendiri, menahan haus, tidak minum minumannya sendiri.

Karena Allah ini tentu saja hanya bisa disikapi oleh mereka yang iman kepada Allah. Dan seukur tebal-tipis, besar-kecil, atau kuat-ringkihnya iman itulah, ketulusan orang yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena Allah. Di dalam puasa, orang mukmin digembleng untuk menjadi mukmin yang kuat yang dapat menguasai dan menjaga diri. Mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya, merupakan singgasana Allah, sehingga tidak mudah dibuat tergiur oleh iming-iming sesaat seperti hewan, tidak terjerumus berperilaku buas dan serakah seperti binatang. Mukmin sejati, mukmin yang bertakwa kepada Allah. Bukan pengaku mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya merupakan tempat mendekam hewan dan binatang buas, sehingga makan pun tidak peduli makan makanannya sendiri atau milik orang lain dan menunjukkan kehebatannya dengan menerkam kesana-kemari. Na’udzu billah min dzalik.

Mudah-mudahan Allah menolong dan membantu kita dalam berpuasa serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Amin



Baca Selengkapnya......

Rabu, 06 Agustus 2008

Pilar Bangsa Telah Roboh

Nabi besar Muhammad Saw, bersabda:
“Tegaknya bangsa di dunia ini karena empat pilar:
1.Dengan ilmunya para Ulama
2.Keadilan para pemimpin
3.Kedermawanan orang kaya
4.Doanya orang-orang miskin

Seluruh pilar-pilar yang disampaikan oleh penyelamat ummat, Sang Nabi Saw, benar-benar telah roboh hari ini, di negeri yang gemah ripah loh jinawi, Indonesia. Seperti kata seorang Sufi besar, Ahmad ibnu Athaillah as-Sakandary, “Bukan mata kepala yang buta, tetapi mata hati yang ada di dalam dada, sebagaimana diungkap oleh Al-Qur’an, ‘Sesungguhnya bukan mata kepala yang buta tetapi yang buta adalah hati yang ada di dada.’”

Dari seluruh pilar-pilar yang menjadi syarat tegaknya sebuah bangsa yang beragama, benar-benar satu persatu roboh. Setiap kita menjenguk nusantara kita, diri kita seperti menyaksikan puing-puing peradaban, begitu sadar kembali, negeri ini tiba-tiba berubah menjadi rimba, kala yang dipenuhi oleh binatang-binatang raksasa buas, melumat siapa saja yang lemah tak berdaya. Yang bermunculan adalah kebinatangan, kebuasan, hewaniyah dan kalau toh menampakkan diri dalam sehari-hari, mereka kadang berubah menjadi berhala-berhala, sangat sombong, sangat arogan, sinis, penuh intrik dan kemunafikan yang secara keseluruhan telah menjadi kedzoliman yang sistematis.

1.Ilmunya para Ulama (Dunia Pendidikan)

Mari kita jenguk puing-puing itu. Puing paling fundamental dari seluruh pilar yang ada. Puing Ilmunya para Ulama.

Kita awali saat muncul semangat Islam dimana-mana. Tiba-tiba ummat Islam menjadi latah, gagap, nervous, dan muncul jargon Islamisasi dimana-mana. Antara harapan dan ketakutan menjadi satu, antara mimpi buruk dan angan-angan panjang meruyak dalam satu gerakan, antara harapan fajar pagi dan senja temaram jingga yang menyeramkan menghantar malam-malam yang dekil bangsa ini.

Disanalah awal tragedi bergerak, berarak menjadi teater senjakala ummat dan bangsa ini. Bangsa yang dihuni oleh mayoritas besar ummat Islam, ternyata telah menjadi bangsa dan ummat yang sangat memalukan dunia. Semangat Islam tiba-tiba berubah menjadi tontotan, bukan tuntunan. Dan segala hal yang berbau tontonan telah mengemas Islam menjadi industri yang semrawut seperti pasar hewan yang liar.

Semula kaum berdasi begitu bangga dengan Islam, ketika muncul isu kebangkitan Islam di abad 14 H. Mereka ramai-ramai ber-Islam dengan kebanggaan dan semangat, namun tanpa disertai pengetahuan Islam yang benar, yang dasar-dasar dan prinsipnya telah dikokohkan oleh para Ulama negeri ini. Tiba-tiba dua dasawarsa kemudian, muncul sebuah gerakan berkiblat ala Timur Tengah dengan segenap asesoris tradisinya, bahkan identifikasi Islam “harus” serupa dengan style jubah, syurban, ditambah dengan romantisme Islami yang sangat dangkal dan memuakkan.

Lalu kita saksikan para pengkhotbah jum’at, para muballigh muda, para ustadz di perkotaan, bahkan para selebritis, mulai berani berfatwa dengan menyesatkan apa pun yang berbau tradisi Islam, membuat kata-kata kotor penuh fitnah pada para tokoh dan Ulama, dengan bahasa garang, penuh dendam, dengan mengoyak kesahajaan diganti dengan keangkuhan.

Mereka bukan ahli tafsir, bukan ahli hadits, bukan ahli fatwa, bukan ahli fiqih, bukan ahli tasawuf, bukan ahli agama, bukan mengenal seluk beluk piranti ilmu-ilmu Islam, berfatwa kesana kemari dengan arogan.

Sementara ummat awam, publik pada umumnya yang begitu dangkal dan mudah tersulut, tiba-tiba bergerak menjadi barisan sampah yang berbau anyir, menusuk jantung iman, membungkam nafas-nafas Ilahi, tampaknya tak peduli dengan kebodohan dan kegelapan jiwanya, tiba-tiba mengibarkan bendera dengan panji-panji Islam. Sebuah tragedy penyesatan, yang muncul dari mereka yang gemar berfatwa sesat, dan menyangka apa yang difatwakan adalah kebenaran terbaiknya. Lalu benar sabda Nabi saw, “Mereka (yang mengaku Ulama itu) telah tersesat dan menyesatkan…”

Inilah gambaran negeri ini, bangsa dan ummat ini. Ketika ilmunya para Ulama Billah (Ulamanya Allah, maaf, bukan Ulama karbitan yang suka menyebut-nyebut Nama Allah, juga bukan cendekiawan Muslim yang keras kepala dan hatinya), mulai surut dari peredaran matahari ilmu pengetahuan Islam, suasana jadi haru biru yang menyeramkan.

Bayangkan di kampus-kampus semangat besar ke-Islaman luar biasa, tetapi mereka hanya menangkap sauh, menangkap buih, menyerap asap, menjadi boneka-boneka atas nama Islam, ideologi Islam, syiar Islam, bahkan atas Nama Allah. Bila orang tua dari para mahasiswa itu tahu yang sebenarnya, mereka akan selamanya berdarahkan airmata, menangisi dan menyesali tak habis-habisnya.

Kemana para Ulama Islam yang hebat? Mereka diambil oleh Allah, karena memang begitulah cara Allah mencabut ilmu-ilmuNya dari muka bumi. Kemana para Kyai yang arif dan bijak bestari? Mereka sudah lama mendahului kita, dan jika ada beberapa diantara mereka, para Kyai yang arif itu pun tidak muncul di permukaan, daripada terkontaminasi oleh kealpaan pada Allah dan fasilitas duniawi, lebih baik menyelamatkan ummat yang dibimbingnya.

Lalu yang muncul di permukaan hanyalah Ulama dan Kyai yang sudah berbaur dengan kekuasaan, uang, dan publisitas murahan. Allah telah memperingatkan mereka dengan bencana demi bencana. Jika peringatan tak digubris juga, hijab kegelapan menjadi selimut mereka. Na’udzubillah min dzaalik.

Jika ilmunya para Ulama telah roboh, maka puing-puing peradaban sebuah bangsa hanya menjadi kenangan yang menyakitkan. Jika Ilmunya Allah mulai dicabut, maka dunia pendidikan di negeri ini telah mundur jauh.

Betapa tidak? Ketika bangsa ini belum merdeka, dengan fasilitas yang sangat terbatas, muncul cendekiawan dan intelektual Indonesia yang mendunia, muncul para Ulama Indonesia yang diakui dunia dengan karya-karya besarnya. Tetapi hari ini, dunia pesantren tak berdaya, industri ilmu-ilmu Islam yang luar biasa itu, telah mulai menyusut kearah degradasinya. Sementara kebijakan pendidikan kita dan kemajuan yang diraihnya, jauh dibanding negara-negara di Afrika, atau Negara yang baru merdeka seperti Vietnam.

Hari ini berjuta-juta anak bangsa terlantar sekolah karena biaya yang mahal. Ada sekolah gratis, tapi masih terbatas, itu pun masih disertai dana-dana sumbangan siluman di sana sini.

Dunia pendidikan kita telah dirobohkan oleh kebodohan mereka yang mengkonsep system pendidikan, stategi pendidikan, dan politik pendidikan yang justru membodohkan bangsa, seperti runtuhnya pengetahuan agama kita dirobohkan oleh mereka yang menjual ilmunya dengan fasilitas duniawi yang murah dan hina, lalu muncullah Ulama-ulama tolol yang berbau sampah kemunafikan meruyak pengetahuan agama dengan fatwanya.

Ilmunya para Ulama berarti hadirnya dunia pendidikan yang memproduksi kualitas manusia yang bermoral. Namun hari ini, yang disebut moral Islam, lebih banyak ditampilkan dengan formalitas pakaian, formalitas senyuman, formalitas agar disebut beretika dan beradab. Sebuah kebanggaan yang retak, semu dan menyesakkan nafas luhur dari Islam itu sendiri. Sungguh sangat menakutkan. Karena budi pekerti tidak muncul dari hati. Tetapi muncul dari hawa nafsu yang mencari keuntungan dibalik Nama-nama Ilahi.
Apalagi ilmunya Ulama-ulama yang mengenal Allah (ma’rifat billah), tahun-tahun terakhir ini dianggap sebagai sesuatu yang asing, langka, dan bahkan sering disesatkan oleh ketololan dan kegelapan nafsu.

2.Keadilan pemimpin (Pribadi pemimpian dan system pemerintahan yang bersih dan memihak rakyat)

Apakah para pemimpin negeri ini tidak adil? Apakah peristiwa peradilan itu bukti sebagai keadilan para pemimpin? Apakah banyaknya lembaga peradilan itu menunjukkan kesungguhan penegakan keadilan? Siapa yang mendapatkan kelayakan keadilan? Kenapa ada pilihan-pilihan penegakan hukum dan keadilan? Apakah penegakan keadilan itu professi lantas dijadikan lahan pekerjaan, bukan dijadikan sebagai tugas mulia?
Apakah rakyat kecil yang diam membisu itu wujud setuju atas kebijakan penguasa yang sesungguhnya tidak memihak mereka? Sampai kapankah atas nama keadilan menipu berjuta-juta bangsa ini?
Bukankah jeritan ketidak adilan sudah lama muncul dari hati nurani rakyat kecil, lalu mereka hanya bisa berucap dengan putus asa, “Biar Tuhan yang mengadili…!”? Sampai kapan mereka menjadi konsumen kebohongan dari industri kekuasaan yang zalim?

Siapa sebenarnya yang mereka pimpin? Apakah mereka ini pemimpin rakyatnya atau menjadi boneka orang yang memiliki kepentingan? Apakah mereka ini pemimpin rakyat, bangsa dan ummat, ataukah mereka ini seakan-akan pemimpin, karena jabatan itu adalah lambang dari sebuah prestisius? Apakah mereka ini sudah matirasa dengan Keadilan Tuhan? Apakah mereka yang mengibarkan lambang dan bendera keadilan itu benar-benar adil? Beranikah mereka mengadili orang yang mengangkat mereka? Hati nurani yang menjawab.

Karena ketidak adilan dan kebohongan senantiasa muncul dari mulut, yang malah bisa sebaliknya dari apa yang diucapkannya. Seperti orang yang mengatakan, “Saya tidak sombong!” Sebenarnya hatinya sangat sombong dan arogan. “Saya dengan ikhlas memberikan semua ini…” Pasti hatinya tidak ikhlas.

Ayat Al-Qur’an benar, “Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul, dan yang menjabat pemimpin dari kalian…” Tetapi ayat ini tidak boleh dibaca oleh para penguasa. Karena ayat ini hanya layak dibaca rakyat. Ayat yang harus dibaca penguasa adalah “Perintahlah dengan adil dan baik…”.
Sejenak kita renungkan refleksi di bawah ini:
Jika pemimpin adil, rakyat akan menghormati dan mendukung pemimpinnya.
Jika pemimpin adil, rakyat tidak akan berteriak dimana-mana dan menghormati hukum.
Jika pemimpin adil pasti akan ada system keadilan yang kuat didukung lembaga peradilan yang lepas dari segala campur tangan termasuk campur tangan kekuasaan dan kepentingan mana pun.
Jika pemimpin adil demokrasi tidak berjalan liar dan liberal, juga tidak diktatoral.
Jika pemimpin adil tidak ada kelaparan dan kemiskinan
Jika pemimpin adil ketakutan berubah jadi harapan, krisis pun jadi peluang.
Jika pemimpin adil, seluruh aparatnya tertib, dunia akan menaruh kembali kepercayaan penuh negeri ini.
Jika pemimpin adil rakyat akan tumbuh harga dirinya, dan semangat bangkit dari keterpurukan jadi nyata.
Kepemimpinan yang adil berarti ketegasan tanpa emosi, keberanian tanpa tanpa kepentingan kelompok dan pribadi.
Kepemimpinan yang adil berarti system politik yang terbuka, tanpa memanfaatkan celah hukum untuk kepentingan korupsi kekuasaan.
Kepemimpinan yang adil berarti tidak memihak pada kekerasan
Dalam kaidah fiqih disebutkan, “Pemimpin itu berorientasi pada kemashlahatan rakyat”. Begitu juga soal pilihan dari dua hal yang buruk, “Pemimpin yang secara pribadi banyak dosanya (kemaksiatan pribadi) namun sangat peduli pada rakyatnya, lebih baik ketimbang pemimpin yang saleh, ahli ibadah, tetapi tidak memihak kepentingan rakyatnya.”

3.Kedermawanan orang-orang kaya

(Pelaku ekonomi dan system ekonomi berdimensi kerakyatan)
Negeri kita bangkit ekonominya sejak tahun 70-an. Tetapi tiba-tiba ambruk ketika peredaran modal, konglomerasi dan kapitalisasi memihak pada orang-orang kaya. “Jangan sampai modal itu berputar ditangan orang-orang kaya diantara kalian,” demikian tegas Al-Qur’an. Sentralisasi ekonomi pada pengusaha-pengusaha kaya harus dikendalikan Negara, apalagi konsep globalisasi yang hendak dicanangkan dunia, semakin menjepit mayoritas warga bangsa dunia, karena modal dan kebijakan ekonomi hanya akan dipegang oleh seperlima (1/5) warga dunia.

Al-Qur’an memberikan sinyal luar biasa, “Kalian tidak meraih kebajikan selama kalian tidak menafklahkan harta yang kalian cintai…”
Allah mengecam 115 kali lebih pada dunia, agar para hambaNya tidak mencintai dunia walau pun ia kaya. Karena harta itu titipan Allah, hakikatnya bukan hasil karya dan kerja kerasnya. Mencintai harta adalah awal tragedy dunia dan akhirat.

Pasar adalah nafsu. Mengendalikan nafsu berarti perjuangan membersihkan kerakusan hewaniyah dan kekejaman emosional dalam diri manusia. Pengendalian nafsu ini harus diterjemahkan dalam system ekonomi dan pasar, apa pun namanya. Bahkan jika menggunakan nama syariat, nama Islamy, tetapi muatannya justru liberalisasi ekonomi, jelas bertentangan dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri.
Robohnya ekonomi kita diakibatkan oleh konsentrasi kekayaan pada para elit pengusaha. Bahkan kalau perlu atas nama pengentasan kemiskinan, sebagai topeng politis untuk menutupi gurita-gurita ekonominya, akhirnya kebijakan pemihakan terhadap kaum miskin muncul dalam gerakan karikatif, BLT, bantuan-bantuan semu yang membius. Rakyat toh, tak pernah dididik berhubungan dengan bank secara benar, dan kemudahan-kemudahan modal hanya wacana yang membubung tak pernah punya fondasi struktur yang kokoh.

Coba kita renungkan tragedy orang-orang kaya di bawah ini:
Orang-orang kaya membagikan zakat dan sedekahnya, sembari bangga dirinya, sembari merasa bahwa dia telah berbuat bagi kemanusiaan, sementara hatinya sedang mengambil jarak status sosial dengan mereka yang diberi. Mereka bangga melihat orang-orang miskin berderet, antri sembako murah, antri bantuan sosial, antrian panjang, seakan-akan tangan suci orang kaya telah mengulur dan bersentuhan dengan kaum miskin itu. Pemandangan yang sangat menyakitkan. Karena bukan demikian sesungguhnya mencintai orang-orang miskin.
Ada orang kaya yang memanfaatkan orang-orang miskin, dengan cara bersedekah kepada mereka, agar bisnisnya semakin menggurita, semakin kaya. Sedekah dalam rangka meraih kekayaan. Sedekah dalam rangka penguatan kekuasaan ekonomi. Sedekah dijadikan ajang dua mata gunting, dimata publik biar disebut dermawan, dan di mata Tuhan agar di beri banyak peluang usaha. Jelas ini adalah tragedy spiritual dalam beragama. Karena keikhlasan telah sirna, riya’ telah menjadi konsumsi, kesombongan telah dipupuknya.
Ada orang kaya yang menabur-naburkan hartanya, bahkan dari pesawat udara, sekadar hiburan semu yang menambah luka, atau sekadar buang sial? Dan orang-orang miskin menikmati sampah sial itu? Atau sebenarnya hanya ingin membuat popularitas atas nama keteladanan? Teladan macam apa?
Ada orang kaya yang berambisi kuasa. Lalu hartanya ditumpuk untuk membiayai ambisi kekuasaannya, sampai nasionalisme dan agama dibeli, membiayai perpecahan, atau menciptakan perpecahan untuk dikuasainya. Hartanya dibagikan demi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Inilah penyuapan spirit, agar jiwa-jiwa besar menjadi kerdil, agar segalanya bisa dipermainkan. Inilah bencana harta!
Ada orang yang beranjak mulai sukses dengan kekayaannya. Ketika beranjak ia berharap bisa membantu orang-orang miskin, tetapi ketika sukses, ia masih terus berambisi menambah kekayaannya, karena ia merasa belum kaya, karena pemburu harta memang tak pernah kaya. Hanya liang kubur yang menghentikan ambisi menumpuk hartanya.

4.Doa orang-orang miskin (Mengentaskan Kemiskinan)

Di negeri ini berjuta-juta orang berada di bawah garis kemiskinan. “Kemiskinan itu mendekati kekufuran,” sabda Nabi Saw. Berarti sebuah proses, system, atau kekuasaan yang membuat rakyat menjadi miskin, adalah wahana penjerumusan krisis terhadap keimanan.
Kata seorang Wali, jika kemiskinan mengarahkan seseorang pada kekafiran, maka kekayaan mengarahkan seseorang pada kesombongan.

Berjuta-juta orang miskin di negeri ini, sudah enggan mendoakan orang-orang kaya dan penguasanya, karena mereka terlempar dari kepedulian system dan manusia-manusia yang sombong oleh kepemilikan dan kedudukannya.

Berjuta orang miskin di negeri ini lebih banyak memaki dan melaknat mereka, dalam kesunyian dan kedekilan nuraninya akibat ketertindasan.

Ada seorang sufi, setiap mau makan selalu mengundang para muridnya untuk makan bersama. Ketika ramai orang makan dengan lahapnya, siapa tahu sang sufi ini lupa pada orang-orang miskin. Kadang sang sufi beberapa hari tidak makan, karena setiap suap yang hendak menyentuh bibirnya, Allah membukakan hatinya tentang kondisi orang-orang miskin di negeri ini. Maka suapan itu tidak lagi bisa masuk ke mulutnya, tenggorokannya tercekak. Bagaimana ia bisa makan ketika di hadapannya serasa banyak orang yang lapar?
Tetapi di negeri ini sangat ironis. Para penguasanya malu mengakui tingkat kemiskinan yang bertambah, dan malu kepada tetangga negeri jika bangsanya tambah miskin.

Namun, anehnya mereka bangga dengan deretan orang-orang miskin, deretan tangan-tangan yang meminta, menengadahkan bantuan. Apakah kemiskinan itu juga lahan bagi kepentingan-kepentingan? Dimanakah nurani mereka itu, ketika harta dikuras, sekarang justru keringat dan airmata orang-orang miskin juga dikuras?
Masya Allah!

Oleh : M Luqman Hakim

Baca Selengkapnya......