Selasa, 25 September 2007

Memburu Lailatu Qodar

Lailatul Qadar adalah malam yang agung di antara sekian malam di bulan suci Ramadhan. Tidak disebutkan kapankah malam itu terjadi.

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ. تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ. سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS Al-Qadr 97: 1-5)

Paling tidak ada tiga keutamaan yang digambarkan dalam ayat tersebut. Pertama, orang yang beribadah pada malam itu bagaikan beribadah selama 1000 bulan, 83 tahun empat bulan. Diriwayatkan, ini menjadi penggembira umat Nabi Muhammad SAW yang berumur lebih pendek dibanding umat nabi-nabi terdahulu. Kedua, para malaikat pun turun ke bumi, mengucapakan salam kesejahteraan kepada orang-orang yang beriman. Dan ketiga, malam itu penuh keberkahan hingga terbit fajar.

Imam Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: “Siapa beribadah di malam Lailatul Qadar dengan rasa iman dan mengharap pahala dari Allah, ia akan diampuni dosanya yang telah lalu.”

Diriwayatkan dari Abu Dawud, Nabi Muhammad SAW pernah ditanya tentang Lailatul Qadar, lalu beliau menjawab, “Lailatul Qadar ada pada setiap bulan Ramadhan.” Riwayat Imam Bukhari, dari A’isyah, Nabi Muhamamd SAW bersabda: “Carilah lailatul qadar itu pada malam ganjil dari sepuluh terakhir pada bulan Ramadhan.”

Menurut pendapat yang lain, Lailatul Qadar itu terjadi pada 17 Ramadlan, 21 Ramadlan, 24 Ramadlan, malam ganjil pada 10 akhir Ramadlan dan lain-lain. Jadi, tidak ditemukan keterangan yang menunjukkan tanggal kepastiannya.

Diantara hikmah tidak diberitahukannya tanggal yang pasti tentang Lailatul Qadar adalah untuk memotivasi umat agar terus beribadah, mencari rahmat dan ridla Allah SWT kapan saja dan dimana saja, tanpa harus terpaku pada satu hari saja. Jika malam Lailatul Qadar ini diberitahukan tanggal kepastiannya, maka orang akan beribadah sebanyak-banyaknya hanya pada tanggal itu saja dan tidak giat lagi beribadah ketika tanggal tersebut sudah lewat.

Namun ada banyak penjelasan mengenai tanda-tanda datangnya Lailatul Qadar itu. Diantara tanda-tandanya adalah:

1. Pada hari itu matahari bersinar tidak terlalu panas dengan cuaca sangat sejuk, sebagaimana hadits riwayat Muslim.
2. Pada malam harinya langit nampak bersih, tidak nampak awan sedikit pun, suasana tenang dan sunyi, tidak dingin dan tidak panas. Hal ini berdasakan riwayat Imam Ahmad.

Dalam Mu’jam at-Thabari al-Kabir disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “Malam lailatul qadar itu langit bersih, udara tidak dingin atau panas, langit tidak berawan, tidak ada hujan, bintang tidak nampak dan pada siang harinya matahari bersinar tidak begitu panas.”

Nah, agar mendapatkan keutamaan lailatul qadar, maka hendaknya memperbanyak ibadah selama bulan Ramadlan, diantaranya, senatiasa mengerjakan shalat fardhu lima waktu secara berjama’ah, mendirikan qiyamul lail (shalat tarawih, tahajjud, dll), membaca Al-Qur’an (tadarrus) sebanyak-banyaknya dengan tartil (pelan-pelan dan membenarkan bacaan tajwidnya), memperbanyak dzikir, istighfar dan berdo’a.

Pendapat yang lebih umum, Lailatul Qadar jatuh pada tanggal 27 setiap Ramadhan. Para ulama Makkah mengkhatamkan Al-Qur'an bersamaan dengan shalat Tarawih di malam ke 27. Pada saat itulah di sana orang-orang bersemangat menjalankan ibadah shalat Tarawih, juga shalat-shalat Sunnah yang lain, seperti Tahajjud, Witir, dan ibadah sosial seperti memberi makan orang miskin, memberi buka kepada yang berpuasa, sedekah ini sedekah itu, dan lain sebagainya.

Hadits riwayat Ahmad dengan sanad shahih, dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Siapa mencari malam Lailatul Qadar, carilah di hari ke 27.” Di Indonesia, oleh para jamaah thareqat mu’tabarah menjadikan malam 27 ini sebagai malam paling istimewa untuk berbaiat, berdzikir, istighatsah dan berziarah kubur. Umum dikenal istilah “malam pitulikuran” sebagai malam paling istimewa.

Menjadi Awalan

Sejatinya amal ibadah apapun kita lakukan semata-mata karena Allah SWT, hanya karena Allah. Tidak berharap apapun. Tidak berharap pujian dari sesama manusia. Tidak berharap agar dikaruniakan keberkahan di dalam setiap langkah kehidupan kita. Bahkan, pada tingkatan yang lebih tinggi, tidak berharap pahala bagi kebahagiaan akhirat. Karena manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, menyembah-Nya.

Namun, manusia adalah manusia: sering menjadi manja, selalu menuntut lebih, selalu berharap balasan, tidak akan melakukan sesuatu ibadah apabila tidak mendapat iming-iming pahala, kebaikan, dan keberkahan yang luar biasa dari Sang Pencipta.

Sebagai contoh adalah betapa paniknya kita ketika bulan Ramadhan tiba. Kita bebondong-bondong melakukan ibadah karena ada iming-iming pahala besar jika kita rajin beribadah pada bulan penuh kemuliaan itu. Ibadah sunat menjadi wajib, sementara ibadah wajib berlipat-lipat pahalanya. Dan seterusnya.

Sayangnya, usai Ramadhan kita kembali seperti biasa. Semangat Ramadhan telah hilang. Kita kembali bergelimang. Alih-alih, pada saat Ramadhan belum usai pun semangat itu mulai menghilang. Semangat beribadah entah kenapa hanya ada di awal bulan Ramadhan. Sementara pada pertengahan bahkan akhir Ramadhan kita sudah berkelana entah kemana.

Maka kemudian bagi manusia-manusia itu dikabarkanlah berita gembira bahwa ada malam kemuliaan yang bernilai seribu bulan, yakni (malam) Lailatul Qadar. Jika kita beribadah pada malam itu maka pahalanya akan luar biasa besarnya, supaya manusia kembali bersemangat untuk beribadah seperti pada awal bulan Ramadhan.

Tahukan bahwa dirahasiakannya malam Lailatul Qadar sesungguhnya adalah pukulan telak buat manusia. Sebenarnya kita sedang tersindir. Rahasia kapan datang malam Lailatul Qadar itu memberikan pelajaran bahwa ibadah mestinya tidak hanya dilakukan dalam satu malam saja.

Andailah manusia tak goyah dalam melakukan ibadah, rajin, dan istiqomah; Karena ibadah tak terbatas waktu, kapan saja, dan sepanjang masa. Tapi baiklah, Ramadhan dan Lailatul Qadar semoga menjadi awalan yang baik untuk beribadah.
(A Khoirul Anam) Baca Selengkapnya......

Kamis, 20 September 2007

Ilmu

"Ilmu adalah harta yang tak akan habis walaupun sering diberikan" Baca Selengkapnya......

Ramadan Ya Ramadan

Oleh: A. Mustofa Bisri

“MUSTOFA, Ramadan adalah bulan-Nya yang Ia serahkan kepadamu dan bulanmu serahkanlah semata-mata untuk-Nya. Bersucilah untuk-Nya. Bersalatlah untuk-Nya. Berpuasalah untuk-Nya. Berjuanglah melawan dirimu sendiri untuk-Nya.” (A. Mustofa Bisri Dalam Nasehat Ramadan buat A. Mustofa Bisri)
Gegap gempita menyambut kedatangan Ramadan dan hiruk pikuk kaum muslimin menjalani Ramadan, disatu sisi bisa dipandang sebagai pertanda maraknya kehidupan beragama, khususnya di negeri ini. Namun, dilain pihak, bias sebagai bahan perenungan kita semua, terutama bagi peningkatan mutu keberagamaan kita.

Lihatlah, bagaimana repotnya pemerintah mengkoordinasikan pihak-pihak yang di ajak bersama-sama mengitung dan meneropong hilal untuk menetapkan awal Ramadan. Bahkan, tahun ini masyarakat umumpun dilibatkan dalam kegiatan rukyah.

Lihatlah spanduk-spanduk menyambut kedatangan Ramadan yang terpampang di seantero jalan. Lihatkan kesibukan para produser dan insan-insan pertelevisian serta para pemilik PH yang bahkan jauh-jauh hari menyusun program-program Ramadan.

Lihatlah ingar-bingar masjid-masjid dan mushola serta meriahnya acara buka bersama dimana-mana. Lihatlah kepedulian instansi-instansi, termasuk kepolisian yang dengan serius berusaha menghormati Ramadan. Luar biasa.

Pendek kata pada Ramadan ini, Indonesia seolah-olah menjadi milik kaum muslimin. Lautan, daratan, dan udara boleh dikata dikuasai kaum muslimin. Subhanallah! Kata Ilham dan ustad-ustad dalam takjub.

Fenomena ini bisa kita saksikan setiap tahun. Setiap Ramadan. Hanya pada Ramadan. Inilah acara rutin tahunan kita selama ini.

Seakan-akankita hanya menunggu datang dan perginya Ramadan, lalu setelah itu kembali kepada kesibukan lain yang biasa kita lakukan di sebelas bulan yang lain. Seakan-akan kita menghormati Ramadan hanya pada Ramadan. Kita berpuasa, menahan diri hanya kepada Ramadan. Termasuk berakrab-akrab dengan keluarga pun hanya pada Ramadan.
Itu pun – kehidupan Ramadan yang seperti itu – masih menyisakan sekian tanda Tanya bagi mereka yang benar-benar ingin mendapatkan keridaan Tuhan mereka. Tanda Tanya itu antara lain, dimanakah posisi Allah dalam diri kita di tengah kesibukan kita yag khas itu?

Seberapa murnikah niat kita dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan ibadah kita? Atau seberapa jauh dorongan nafsu yang samara menyusupi keinginan kita mendapatkan rida Allah?

Dengan perenungan yang agak dalam, kita mungkin akan menyadari bahwa nafsu begitu halus tersembunyi dalam diri kita, sering berimpita dengan kehendak mendapatkan rida Allah. Kita berzikir atau membaca Quran, misalnya, tentulah dengan kehendak ingin mendapatkan rida-Nya. Namun, bersamaan dengan itu, sering tanpa kita sadari nafsu justru mendorong kita untuk berlebih-lebihan, sehingga kehendak yang mulia itu malah melenceng melanggar anggar-anggar-Nya.

Kita berzikir atau membaca Quran tidak lagi murni bagi Allah Yang Mahadekat, tetapi kita keraskan suara kita sedemikian rupa seolah-olah kita sedang menyeru orang tuli. Bahkan, di negeri ini, kebiasaan berzikir, membaca Quran, dan sebagainya, dengan pengeras suara sudah merupakan hal jamak lumrah. Tak ada seorang kiai pun yang mengingatkannya.

Saya sendiri pernah menyinggung masalah kemaruk pengeras suara ini, di koran ini. Besoknya ada penelepon yang marah-marah, “MUI saja, Gus Dur saja, tidak mempersoalkan, kok sampeyan mempersoalkan!” Saya mempersoalkan hal ini justru karena MUI dan Gus Dur tidak terang-terangan mempersoalkannya, jawab saya ketika itu.

Biasanya orang yang membenarkan zikir dsb dengan pengeras suara beralasan bahwa itu merupakan syi’ar. Saya tidak tahu apakah maksud mereka dengan syi’ar itu?

Apakah Rasulullah SAW yang melarang berzikir keras-keras itu tidak mengerti syi’ar? Apakah para sahabat, Imam Syafi’i dan ulama-ulama besar yang mengecam zikir dengan suara keras itu tiak mengerti syi’ar?

Lagi pula apakah, karena kita merasa besar, lalu kita merasa merdeka dan menafikkan hak mereka yang lain – sekecil apa pun – untuk tidak diganggu dengan suara-suara keras?

Kehendak untuk diterima amal kita sering juga disusupi nafsu yang samar, lalu kita menjadi egois; ingin agar amal kita sendiri yang diterima tanpa mengindahkan hak orang lain untuk berkehendak diterima amalnya. Bahkan, sering karena kita terlalu ingin mendapatkan rida Allah, lalu kita mempersetankan hak orang lain untuk menjadi hamba-Nya sesuai kemampuannya.

Tengoklah mereka yang karena ingin menghormati Ramadan, lalu ingin memaksa para pemilik warung untuk menutup warung. Mereka lupa bahwa tidak semua orang muslim wajib melaksanakan puasa pada Ramadan. Di sana ada musafir-musafir yang di perkenankan tidak puasa dan perempuan-perempuan yang datang bulan yang malah tidak boleh berpuasa. Maraknya kehidupan beragama secara lahiriah seharusnya diikuti dengan maraknya spiritualitas kaum beragama secara batiniah. Dengan demikian, Ramadan tidak begitu saja berlalu sebagaimana momen-momen rutin lain yang tidak membekas.

Apalagi justru menjadikan kita hamba-hamba yang bangga diri terhadap kebesaran semu kita. Selamat berpuasa Ramadan! Semoga Allah mengampuni kekurangan-kekurangan kita dan menrima amal ibadah kita. Amin Baca Selengkapnya......

Rabu, 12 September 2007

Shalat Tarawih 20 Rakaat

Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap muslim pernah menjalankannya. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid atau mushala penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang menjalankan shalat jama’ah isya` sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat. Yang terakhir ini termasuk ciri orang NU (Nahdliyyin). Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya sarna-sarna 3 rakaat, orang NU maupun bukan. 20 rakaat itu serempak dilaksanakan dengan cara dua rakaat salam.

Begitu shalat sunnah rawatib setelah isya` (ba'diyah) usai dikerjakan, bilal mengumumkan tibanya shalat Tarawih dikerjakan, “Marilah shalat Tarawih berjama'ah!” Imam pun maju ke depan, dan sudah dapat ditebak surat yang dibaca setelah al-Fatihah ialah surat at-Takatsur.

Bacaan seperti ini sudah menjadi ciri khusus masjid-masjid atau mushala-mushala NU. Juga sudah dapat ditebak bahwa rakaat kedua setelah al-Fatihah tentu sura Al-Ikhlash. Setelah usai 2 rakaat, ada sela-sela lantunan shalawat yang diserukan “bilal” dan dijawab oleh segenap kaum muslimin.

Begitu shalat tarawih sampai rakaat kedua puluh, bacaan surat sesudah al-Fatihah tentu sudah sampai ke surat al-Lahab dan al-Ikhlash. Tinggal shalat witirnya yang biasa dilakukan 2 rakaat, dan yang kedua satu rakaat, imam biasanya memilih surat al-A’la dan al-Kafirun.

Para imam Tarawih NU umumnya memilih shalat yang tidak perlu bertele-tele. Sebab ada hadits berbunyi: "Di belakang Anda ada orang tua yang punya kepentingan..” Maka, 23 rakaat umumnya shalat Tarawih lengkap dengan Witirnya selesai dalam 45 menit.

Lain halnya shalat di Masjidil Haram, Makah. Di sana, 23 rakaat diselesaikan dalam waktu kira-kira 90-120 menit. Surat yang dibaca imam ialah ayat -ayat suci Al-Qur’an dari awal, terus berurutan menuju akhir Al-Qur’an. Setiap malam harus diselesaikan kira-kira 1 juz lebih, dengan diperkirakan pada tanggal 29 Ramadhan (dulu setiap tanggal 27 Ramadhan) sudah khatam. Pada malam ke 29 Ramadhan itulah ada tradisi khataman Al-Qur'an dalam shalat Tarawih di Masjidil Haram. Bahkan, di rakaat terakhir imam memanjatkan doa yang menurut ukuran orang Indonesia sangat panjang sebab doa itu bisa sampai 15 menit, doa yang langka dilakukan seorang kiai dengan waktu sepanjang itu, meski di luar shalat sekalipun.

Dan terpapar di kitab Shalat al-Tarawih fi Masjid al-Haram bahwa shalat Tarawih di Masjidil Haram sejak masa Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Usman, dan seterusnya sampai sekarang selalu dilakukan 20 rakaat dan 3 rakaat Witir.

Warga Nahdliyyin yang memilih Tarawih 20 rakaat ini berdasar pada beberapa dalil. Dalam Fiqh as-Sunnah Juz II, hlm 54 disebutkan bahwa mayoritas pakar hukum Islam sepakat dengan riwayat yang menyatakan bahwa kaum muslimin mengerjakan shalat pada zaman Umar, Utsman dan Ali sebanyak 20 rakaat.

Sahabat Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW shalat Tarawih di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 Rakaat ditambah Witir. (HR Baihaqi dan Thabrani).

Ibnu Hajar menyatakan bahwa Rasulullah shalat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketiga tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun rasulullah tidak keluar. Kemudian paginya beliau bersabda:

“Aku takut kalau-kalau tarawih diwajibkan atas kalian, kalian tidak akan mampu melaksanakannya.”

Hadits ini disepakati kesahihannya dan tanpa mengesampingkan hadits lain yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebutkan rakaatnya. (Dalam hamîsy Muhibah, Juz II, hlm.466-467)

KH MUnawwir Abdul Fattah
Pesantren Krapyak Yogyakarta Baca Selengkapnya......