Selasa, 26 Agustus 2008

Nasehat Imam Ghazali

Suatu hari, Imam Al Ghozali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam Al Ghozali bertanya….pertama,”Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab “orang tua,guru,kawan,dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawapan itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “MATI”. Sebab itu sememangnya janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (Ali Imran 185)
Lalu Imam Ghozali meneruskan pertanyaan yang kedua…. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Murid -muridnya menjawab “negara Cina, bulan, matahari dan bintang -bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahawa semua jawapan yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “MASA LALU”. Walau dengan apa cara sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama

Lalu Imam Ghozali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga…. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawah “gunung, bumi dan matahari”. Semua jawapan itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “NAFSU” (Al A’Raf 179).Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab “besi dan gajah”. Semua jawapan adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “MEMEGANG AMANAH” (Al Ahzab 72).Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”…Ada yang menjawab “kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah meninggalkan Sholat. Gara-gara pekerjaan kita meninggalkan sholat, gara-gara bermesyuarat kita meninggalkan sholat.
Dan pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”…Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “LIDAH MANUSIA” Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri
Baca Selengkapnya......

Jumat, 15 Agustus 2008

Puasa dan Takwa

Oleh: KH. A. Mustofa Bisri

Puasa diwajibkan atas kita orang-orang yang beriman. Kita yang telah berikrar lahir-batin bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad SAW utusan Allah.
Sebagai hamba Allah SWT yang telah berikrar, sebenarnya apa pun perintah-Nya, kita tidak perlu dan tidak pantas bertanya-tanya mengapa, untuk apa?. Hamba yang baik justru senantiasa ber-husnuzhzhan, berbaik sangka kepada-Nya. Allah SWT memerintahkan atau melarang sesuatu, pastilah untuk kepentingan kita. Karena Allah SWT Maha Kaya, tidak memiliki kepentingan apa pun. Ia mulia bukan karena dimuliakan, agung bukan karena diagungkan, berwibawa bukan karena ditunduki. Sejak semula, Ia sudah Maha Mulia, sudah Maha Agung, sudah Maha Kaya, sudah Maha Berwibawa

Kalau kemudian Ia menjelaskan pentingnya melaksanakan perintah-Nya atau menjauhi larangan-Nya, semata-mata karena Ia tahu watak kita yang suka mempertanyakan, yang selalu menonjolkan kepentingan sendiri.

Maka, sebelum kita mempertanyakan mengapa kita diperintahkan berpuasa, misalnya, Allah SWT telah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

(QS. Al-Baqarah: 183) "Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa atas kalian sebagaimana diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa."


Hamba mukmin di dunia ini, dalam proses menuju ketakwaan kepada Allah SWT. Karena semua kebaikan hamba di dunia dan kebahagiaannya di akherat, kuncinya adalah ketakwaan kepada-Nya. Mulai dari pujian Allah SWT, dukungan dan pertolongan-Nya, penjagaan-Nya, pengampunan-Nya, cinta-Nya, limpahan rejeki-Nya, pematutan amal dan penerimaan-Nya terhadapnya, hingga kebahagiaan abadi di sorga, ketakwaanlah kuncinya. (Baca misalnya, Q.3: 76, 120, 133, 186; Q.5:27; Q. 16: 128; Q. 19: 72; Q. 39: 61; Q. 65: 2-3; Q. 33: 70-71; Q. 49: 13).

Nah puasa, sebagaimana dijelaskan Allah SWT dalam ayat 183 al-Baqarah di atas, merupakan sarana kita untuk mencapai ketakwaan yang berarti pada gilirannya meraih kebahagian di dunia dan akherat..

Takwa sendiri lebih sering diucapkan ketimbang diterangkan. Ini barangkali karena banyaknya definisi. Intinya-sejalan dengan maknanya secara bahasa-ialah penjagaan diri. Penjagaan diri dari apa? Ada yang mengatakan penjagaan diri dari hukuman Allah dengan cara mentaati-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan melanggar larangan-larangan-Nya. Ada yang mengatakan penjagaan diri dari melakukan hal-hal yang menjauhkan dari Allah. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai mengikuti hawa nafsu dan tergoda setan. Ada yang mengatakan penjagaan diri jangan sampai tidak mengikuti jejak Rasulullah SAW. Dan masih banyak lagi pendapat yang jika kita cermati, semuanya berujung pada satu makna. Perbedaannya hanya pada ungkapan tentang dari apa kita mesti menjaga diri.

Orang mukmin yang menjaga dirinya terhadap seretan hawa nafsunya dan atau godaan setan, berarti dia menjaga diri dari mengabaikan perintah-perintah Allah dan dari melakukan hal-hal yang dilarang-Nya; berarti, dia menjaga diri agar tetap mengikuti jejak Rasullah SAW; berarti menjaga diri dari hukuman Allah dan dijauhkan dari-Nya.
Ibarat berjalan di ladang ranjau, orang yang bertakwa senantiasa berhati-hati dan waspada terhadap hal-hal yang dapat mencelakakannya.

Puasa, seperti diketahui, bukanlah sekedar menahan diri untuk tidak makan dan tidak minum. Seandainya sekedar menahan diri dari makan dan minum pun sudah merupakan latihan untuk dapat menguasai dan menjaga diri karena Allah. Dalam puasa, melakukan dan tidak melakukan sesuatu karena Allah secara nalar jauh lebih mudah. Orang yang berpuasa karena orang, misalnya, bisa saja makan atau minum di siang hari secara sembunyi-sembunyi. Makan makanannya sendiri, minum minumannya sendiri, apa susahnya? Tapi untuk apa? Karena Allah-lah yang membuat orang mukmin bersedia menahan lapar, tidak makan makanannya sendiri, menahan haus, tidak minum minumannya sendiri.

Karena Allah ini tentu saja hanya bisa disikapi oleh mereka yang iman kepada Allah. Dan seukur tebal-tipis, besar-kecil, atau kuat-ringkihnya iman itulah, ketulusan orang yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena Allah. Di dalam puasa, orang mukmin digembleng untuk menjadi mukmin yang kuat yang dapat menguasai dan menjaga diri. Mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya, merupakan singgasana Allah, sehingga tidak mudah dibuat tergiur oleh iming-iming sesaat seperti hewan, tidak terjerumus berperilaku buas dan serakah seperti binatang. Mukmin sejati, mukmin yang bertakwa kepada Allah. Bukan pengaku mukmin yang lubuk hatinya, pikirannya, hingga pelupuk matanya merupakan tempat mendekam hewan dan binatang buas, sehingga makan pun tidak peduli makan makanannya sendiri atau milik orang lain dan menunjukkan kehebatannya dengan menerkam kesana-kemari. Na’udzu billah min dzalik.

Mudah-mudahan Allah menolong dan membantu kita dalam berpuasa serta menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang bertakwa. Amin



Baca Selengkapnya......

Rabu, 06 Agustus 2008

Pilar Bangsa Telah Roboh

Nabi besar Muhammad Saw, bersabda:
“Tegaknya bangsa di dunia ini karena empat pilar:
1.Dengan ilmunya para Ulama
2.Keadilan para pemimpin
3.Kedermawanan orang kaya
4.Doanya orang-orang miskin

Seluruh pilar-pilar yang disampaikan oleh penyelamat ummat, Sang Nabi Saw, benar-benar telah roboh hari ini, di negeri yang gemah ripah loh jinawi, Indonesia. Seperti kata seorang Sufi besar, Ahmad ibnu Athaillah as-Sakandary, “Bukan mata kepala yang buta, tetapi mata hati yang ada di dalam dada, sebagaimana diungkap oleh Al-Qur’an, ‘Sesungguhnya bukan mata kepala yang buta tetapi yang buta adalah hati yang ada di dada.’”

Dari seluruh pilar-pilar yang menjadi syarat tegaknya sebuah bangsa yang beragama, benar-benar satu persatu roboh. Setiap kita menjenguk nusantara kita, diri kita seperti menyaksikan puing-puing peradaban, begitu sadar kembali, negeri ini tiba-tiba berubah menjadi rimba, kala yang dipenuhi oleh binatang-binatang raksasa buas, melumat siapa saja yang lemah tak berdaya. Yang bermunculan adalah kebinatangan, kebuasan, hewaniyah dan kalau toh menampakkan diri dalam sehari-hari, mereka kadang berubah menjadi berhala-berhala, sangat sombong, sangat arogan, sinis, penuh intrik dan kemunafikan yang secara keseluruhan telah menjadi kedzoliman yang sistematis.

1.Ilmunya para Ulama (Dunia Pendidikan)

Mari kita jenguk puing-puing itu. Puing paling fundamental dari seluruh pilar yang ada. Puing Ilmunya para Ulama.

Kita awali saat muncul semangat Islam dimana-mana. Tiba-tiba ummat Islam menjadi latah, gagap, nervous, dan muncul jargon Islamisasi dimana-mana. Antara harapan dan ketakutan menjadi satu, antara mimpi buruk dan angan-angan panjang meruyak dalam satu gerakan, antara harapan fajar pagi dan senja temaram jingga yang menyeramkan menghantar malam-malam yang dekil bangsa ini.

Disanalah awal tragedi bergerak, berarak menjadi teater senjakala ummat dan bangsa ini. Bangsa yang dihuni oleh mayoritas besar ummat Islam, ternyata telah menjadi bangsa dan ummat yang sangat memalukan dunia. Semangat Islam tiba-tiba berubah menjadi tontotan, bukan tuntunan. Dan segala hal yang berbau tontonan telah mengemas Islam menjadi industri yang semrawut seperti pasar hewan yang liar.

Semula kaum berdasi begitu bangga dengan Islam, ketika muncul isu kebangkitan Islam di abad 14 H. Mereka ramai-ramai ber-Islam dengan kebanggaan dan semangat, namun tanpa disertai pengetahuan Islam yang benar, yang dasar-dasar dan prinsipnya telah dikokohkan oleh para Ulama negeri ini. Tiba-tiba dua dasawarsa kemudian, muncul sebuah gerakan berkiblat ala Timur Tengah dengan segenap asesoris tradisinya, bahkan identifikasi Islam “harus” serupa dengan style jubah, syurban, ditambah dengan romantisme Islami yang sangat dangkal dan memuakkan.

Lalu kita saksikan para pengkhotbah jum’at, para muballigh muda, para ustadz di perkotaan, bahkan para selebritis, mulai berani berfatwa dengan menyesatkan apa pun yang berbau tradisi Islam, membuat kata-kata kotor penuh fitnah pada para tokoh dan Ulama, dengan bahasa garang, penuh dendam, dengan mengoyak kesahajaan diganti dengan keangkuhan.

Mereka bukan ahli tafsir, bukan ahli hadits, bukan ahli fatwa, bukan ahli fiqih, bukan ahli tasawuf, bukan ahli agama, bukan mengenal seluk beluk piranti ilmu-ilmu Islam, berfatwa kesana kemari dengan arogan.

Sementara ummat awam, publik pada umumnya yang begitu dangkal dan mudah tersulut, tiba-tiba bergerak menjadi barisan sampah yang berbau anyir, menusuk jantung iman, membungkam nafas-nafas Ilahi, tampaknya tak peduli dengan kebodohan dan kegelapan jiwanya, tiba-tiba mengibarkan bendera dengan panji-panji Islam. Sebuah tragedy penyesatan, yang muncul dari mereka yang gemar berfatwa sesat, dan menyangka apa yang difatwakan adalah kebenaran terbaiknya. Lalu benar sabda Nabi saw, “Mereka (yang mengaku Ulama itu) telah tersesat dan menyesatkan…”

Inilah gambaran negeri ini, bangsa dan ummat ini. Ketika ilmunya para Ulama Billah (Ulamanya Allah, maaf, bukan Ulama karbitan yang suka menyebut-nyebut Nama Allah, juga bukan cendekiawan Muslim yang keras kepala dan hatinya), mulai surut dari peredaran matahari ilmu pengetahuan Islam, suasana jadi haru biru yang menyeramkan.

Bayangkan di kampus-kampus semangat besar ke-Islaman luar biasa, tetapi mereka hanya menangkap sauh, menangkap buih, menyerap asap, menjadi boneka-boneka atas nama Islam, ideologi Islam, syiar Islam, bahkan atas Nama Allah. Bila orang tua dari para mahasiswa itu tahu yang sebenarnya, mereka akan selamanya berdarahkan airmata, menangisi dan menyesali tak habis-habisnya.

Kemana para Ulama Islam yang hebat? Mereka diambil oleh Allah, karena memang begitulah cara Allah mencabut ilmu-ilmuNya dari muka bumi. Kemana para Kyai yang arif dan bijak bestari? Mereka sudah lama mendahului kita, dan jika ada beberapa diantara mereka, para Kyai yang arif itu pun tidak muncul di permukaan, daripada terkontaminasi oleh kealpaan pada Allah dan fasilitas duniawi, lebih baik menyelamatkan ummat yang dibimbingnya.

Lalu yang muncul di permukaan hanyalah Ulama dan Kyai yang sudah berbaur dengan kekuasaan, uang, dan publisitas murahan. Allah telah memperingatkan mereka dengan bencana demi bencana. Jika peringatan tak digubris juga, hijab kegelapan menjadi selimut mereka. Na’udzubillah min dzaalik.

Jika ilmunya para Ulama telah roboh, maka puing-puing peradaban sebuah bangsa hanya menjadi kenangan yang menyakitkan. Jika Ilmunya Allah mulai dicabut, maka dunia pendidikan di negeri ini telah mundur jauh.

Betapa tidak? Ketika bangsa ini belum merdeka, dengan fasilitas yang sangat terbatas, muncul cendekiawan dan intelektual Indonesia yang mendunia, muncul para Ulama Indonesia yang diakui dunia dengan karya-karya besarnya. Tetapi hari ini, dunia pesantren tak berdaya, industri ilmu-ilmu Islam yang luar biasa itu, telah mulai menyusut kearah degradasinya. Sementara kebijakan pendidikan kita dan kemajuan yang diraihnya, jauh dibanding negara-negara di Afrika, atau Negara yang baru merdeka seperti Vietnam.

Hari ini berjuta-juta anak bangsa terlantar sekolah karena biaya yang mahal. Ada sekolah gratis, tapi masih terbatas, itu pun masih disertai dana-dana sumbangan siluman di sana sini.

Dunia pendidikan kita telah dirobohkan oleh kebodohan mereka yang mengkonsep system pendidikan, stategi pendidikan, dan politik pendidikan yang justru membodohkan bangsa, seperti runtuhnya pengetahuan agama kita dirobohkan oleh mereka yang menjual ilmunya dengan fasilitas duniawi yang murah dan hina, lalu muncullah Ulama-ulama tolol yang berbau sampah kemunafikan meruyak pengetahuan agama dengan fatwanya.

Ilmunya para Ulama berarti hadirnya dunia pendidikan yang memproduksi kualitas manusia yang bermoral. Namun hari ini, yang disebut moral Islam, lebih banyak ditampilkan dengan formalitas pakaian, formalitas senyuman, formalitas agar disebut beretika dan beradab. Sebuah kebanggaan yang retak, semu dan menyesakkan nafas luhur dari Islam itu sendiri. Sungguh sangat menakutkan. Karena budi pekerti tidak muncul dari hati. Tetapi muncul dari hawa nafsu yang mencari keuntungan dibalik Nama-nama Ilahi.
Apalagi ilmunya Ulama-ulama yang mengenal Allah (ma’rifat billah), tahun-tahun terakhir ini dianggap sebagai sesuatu yang asing, langka, dan bahkan sering disesatkan oleh ketololan dan kegelapan nafsu.

2.Keadilan pemimpin (Pribadi pemimpian dan system pemerintahan yang bersih dan memihak rakyat)

Apakah para pemimpin negeri ini tidak adil? Apakah peristiwa peradilan itu bukti sebagai keadilan para pemimpin? Apakah banyaknya lembaga peradilan itu menunjukkan kesungguhan penegakan keadilan? Siapa yang mendapatkan kelayakan keadilan? Kenapa ada pilihan-pilihan penegakan hukum dan keadilan? Apakah penegakan keadilan itu professi lantas dijadikan lahan pekerjaan, bukan dijadikan sebagai tugas mulia?
Apakah rakyat kecil yang diam membisu itu wujud setuju atas kebijakan penguasa yang sesungguhnya tidak memihak mereka? Sampai kapankah atas nama keadilan menipu berjuta-juta bangsa ini?
Bukankah jeritan ketidak adilan sudah lama muncul dari hati nurani rakyat kecil, lalu mereka hanya bisa berucap dengan putus asa, “Biar Tuhan yang mengadili…!”? Sampai kapan mereka menjadi konsumen kebohongan dari industri kekuasaan yang zalim?

Siapa sebenarnya yang mereka pimpin? Apakah mereka ini pemimpin rakyatnya atau menjadi boneka orang yang memiliki kepentingan? Apakah mereka ini pemimpin rakyat, bangsa dan ummat, ataukah mereka ini seakan-akan pemimpin, karena jabatan itu adalah lambang dari sebuah prestisius? Apakah mereka ini sudah matirasa dengan Keadilan Tuhan? Apakah mereka yang mengibarkan lambang dan bendera keadilan itu benar-benar adil? Beranikah mereka mengadili orang yang mengangkat mereka? Hati nurani yang menjawab.

Karena ketidak adilan dan kebohongan senantiasa muncul dari mulut, yang malah bisa sebaliknya dari apa yang diucapkannya. Seperti orang yang mengatakan, “Saya tidak sombong!” Sebenarnya hatinya sangat sombong dan arogan. “Saya dengan ikhlas memberikan semua ini…” Pasti hatinya tidak ikhlas.

Ayat Al-Qur’an benar, “Taatlah pada Allah dan taatlah pada Rasul, dan yang menjabat pemimpin dari kalian…” Tetapi ayat ini tidak boleh dibaca oleh para penguasa. Karena ayat ini hanya layak dibaca rakyat. Ayat yang harus dibaca penguasa adalah “Perintahlah dengan adil dan baik…”.
Sejenak kita renungkan refleksi di bawah ini:
Jika pemimpin adil, rakyat akan menghormati dan mendukung pemimpinnya.
Jika pemimpin adil, rakyat tidak akan berteriak dimana-mana dan menghormati hukum.
Jika pemimpin adil pasti akan ada system keadilan yang kuat didukung lembaga peradilan yang lepas dari segala campur tangan termasuk campur tangan kekuasaan dan kepentingan mana pun.
Jika pemimpin adil demokrasi tidak berjalan liar dan liberal, juga tidak diktatoral.
Jika pemimpin adil tidak ada kelaparan dan kemiskinan
Jika pemimpin adil ketakutan berubah jadi harapan, krisis pun jadi peluang.
Jika pemimpin adil, seluruh aparatnya tertib, dunia akan menaruh kembali kepercayaan penuh negeri ini.
Jika pemimpin adil rakyat akan tumbuh harga dirinya, dan semangat bangkit dari keterpurukan jadi nyata.
Kepemimpinan yang adil berarti ketegasan tanpa emosi, keberanian tanpa tanpa kepentingan kelompok dan pribadi.
Kepemimpinan yang adil berarti system politik yang terbuka, tanpa memanfaatkan celah hukum untuk kepentingan korupsi kekuasaan.
Kepemimpinan yang adil berarti tidak memihak pada kekerasan
Dalam kaidah fiqih disebutkan, “Pemimpin itu berorientasi pada kemashlahatan rakyat”. Begitu juga soal pilihan dari dua hal yang buruk, “Pemimpin yang secara pribadi banyak dosanya (kemaksiatan pribadi) namun sangat peduli pada rakyatnya, lebih baik ketimbang pemimpin yang saleh, ahli ibadah, tetapi tidak memihak kepentingan rakyatnya.”

3.Kedermawanan orang-orang kaya

(Pelaku ekonomi dan system ekonomi berdimensi kerakyatan)
Negeri kita bangkit ekonominya sejak tahun 70-an. Tetapi tiba-tiba ambruk ketika peredaran modal, konglomerasi dan kapitalisasi memihak pada orang-orang kaya. “Jangan sampai modal itu berputar ditangan orang-orang kaya diantara kalian,” demikian tegas Al-Qur’an. Sentralisasi ekonomi pada pengusaha-pengusaha kaya harus dikendalikan Negara, apalagi konsep globalisasi yang hendak dicanangkan dunia, semakin menjepit mayoritas warga bangsa dunia, karena modal dan kebijakan ekonomi hanya akan dipegang oleh seperlima (1/5) warga dunia.

Al-Qur’an memberikan sinyal luar biasa, “Kalian tidak meraih kebajikan selama kalian tidak menafklahkan harta yang kalian cintai…”
Allah mengecam 115 kali lebih pada dunia, agar para hambaNya tidak mencintai dunia walau pun ia kaya. Karena harta itu titipan Allah, hakikatnya bukan hasil karya dan kerja kerasnya. Mencintai harta adalah awal tragedy dunia dan akhirat.

Pasar adalah nafsu. Mengendalikan nafsu berarti perjuangan membersihkan kerakusan hewaniyah dan kekejaman emosional dalam diri manusia. Pengendalian nafsu ini harus diterjemahkan dalam system ekonomi dan pasar, apa pun namanya. Bahkan jika menggunakan nama syariat, nama Islamy, tetapi muatannya justru liberalisasi ekonomi, jelas bertentangan dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri.
Robohnya ekonomi kita diakibatkan oleh konsentrasi kekayaan pada para elit pengusaha. Bahkan kalau perlu atas nama pengentasan kemiskinan, sebagai topeng politis untuk menutupi gurita-gurita ekonominya, akhirnya kebijakan pemihakan terhadap kaum miskin muncul dalam gerakan karikatif, BLT, bantuan-bantuan semu yang membius. Rakyat toh, tak pernah dididik berhubungan dengan bank secara benar, dan kemudahan-kemudahan modal hanya wacana yang membubung tak pernah punya fondasi struktur yang kokoh.

Coba kita renungkan tragedy orang-orang kaya di bawah ini:
Orang-orang kaya membagikan zakat dan sedekahnya, sembari bangga dirinya, sembari merasa bahwa dia telah berbuat bagi kemanusiaan, sementara hatinya sedang mengambil jarak status sosial dengan mereka yang diberi. Mereka bangga melihat orang-orang miskin berderet, antri sembako murah, antri bantuan sosial, antrian panjang, seakan-akan tangan suci orang kaya telah mengulur dan bersentuhan dengan kaum miskin itu. Pemandangan yang sangat menyakitkan. Karena bukan demikian sesungguhnya mencintai orang-orang miskin.
Ada orang kaya yang memanfaatkan orang-orang miskin, dengan cara bersedekah kepada mereka, agar bisnisnya semakin menggurita, semakin kaya. Sedekah dalam rangka meraih kekayaan. Sedekah dalam rangka penguatan kekuasaan ekonomi. Sedekah dijadikan ajang dua mata gunting, dimata publik biar disebut dermawan, dan di mata Tuhan agar di beri banyak peluang usaha. Jelas ini adalah tragedy spiritual dalam beragama. Karena keikhlasan telah sirna, riya’ telah menjadi konsumsi, kesombongan telah dipupuknya.
Ada orang kaya yang menabur-naburkan hartanya, bahkan dari pesawat udara, sekadar hiburan semu yang menambah luka, atau sekadar buang sial? Dan orang-orang miskin menikmati sampah sial itu? Atau sebenarnya hanya ingin membuat popularitas atas nama keteladanan? Teladan macam apa?
Ada orang kaya yang berambisi kuasa. Lalu hartanya ditumpuk untuk membiayai ambisi kekuasaannya, sampai nasionalisme dan agama dibeli, membiayai perpecahan, atau menciptakan perpecahan untuk dikuasainya. Hartanya dibagikan demi kepentingan-kepentingan kekuasaan. Inilah penyuapan spirit, agar jiwa-jiwa besar menjadi kerdil, agar segalanya bisa dipermainkan. Inilah bencana harta!
Ada orang yang beranjak mulai sukses dengan kekayaannya. Ketika beranjak ia berharap bisa membantu orang-orang miskin, tetapi ketika sukses, ia masih terus berambisi menambah kekayaannya, karena ia merasa belum kaya, karena pemburu harta memang tak pernah kaya. Hanya liang kubur yang menghentikan ambisi menumpuk hartanya.

4.Doa orang-orang miskin (Mengentaskan Kemiskinan)

Di negeri ini berjuta-juta orang berada di bawah garis kemiskinan. “Kemiskinan itu mendekati kekufuran,” sabda Nabi Saw. Berarti sebuah proses, system, atau kekuasaan yang membuat rakyat menjadi miskin, adalah wahana penjerumusan krisis terhadap keimanan.
Kata seorang Wali, jika kemiskinan mengarahkan seseorang pada kekafiran, maka kekayaan mengarahkan seseorang pada kesombongan.

Berjuta-juta orang miskin di negeri ini, sudah enggan mendoakan orang-orang kaya dan penguasanya, karena mereka terlempar dari kepedulian system dan manusia-manusia yang sombong oleh kepemilikan dan kedudukannya.

Berjuta orang miskin di negeri ini lebih banyak memaki dan melaknat mereka, dalam kesunyian dan kedekilan nuraninya akibat ketertindasan.

Ada seorang sufi, setiap mau makan selalu mengundang para muridnya untuk makan bersama. Ketika ramai orang makan dengan lahapnya, siapa tahu sang sufi ini lupa pada orang-orang miskin. Kadang sang sufi beberapa hari tidak makan, karena setiap suap yang hendak menyentuh bibirnya, Allah membukakan hatinya tentang kondisi orang-orang miskin di negeri ini. Maka suapan itu tidak lagi bisa masuk ke mulutnya, tenggorokannya tercekak. Bagaimana ia bisa makan ketika di hadapannya serasa banyak orang yang lapar?
Tetapi di negeri ini sangat ironis. Para penguasanya malu mengakui tingkat kemiskinan yang bertambah, dan malu kepada tetangga negeri jika bangsanya tambah miskin.

Namun, anehnya mereka bangga dengan deretan orang-orang miskin, deretan tangan-tangan yang meminta, menengadahkan bantuan. Apakah kemiskinan itu juga lahan bagi kepentingan-kepentingan? Dimanakah nurani mereka itu, ketika harta dikuras, sekarang justru keringat dan airmata orang-orang miskin juga dikuras?
Masya Allah!

Oleh : M Luqman Hakim

Baca Selengkapnya......

Selasa, 05 Agustus 2008

Amalan bulan Sya'ban

Mari kita sambut bulan Ramadhan yang penuh berkah mulai bulan Sya'ban ini. Kita persiapkan diri kita baik fisik dan rohani untuk bulan yang penuh karunia tersebut.

Mempersiapkan rohani kita adalah dengan mulai mempelajari hal-hal penting yang perlu kita amalkan selama bulan tersebut. Kita buka kembali pelajaran fiqhus-syiyam kita, yaitu fikih berpuasa yang benar dan sesuai ajaran. Kita sadarkan diri dan kesadaran kita akan pentingnya bulan tersebut bagi agama dan keimanan kita.

Secara fisik, kita juga harus mempersiapkan diri di bulan ini dengan melatih diri memperbanyak ibadah dan khususnya puasa. Itulah salah satu hikmah kita dianjurkan memperbanyak puasa pada bulan Sya'ban ini. Dan di bulan Sya'ban ini juga ada malam nisfu sya'ban, yaitu malam pertengahan bulan Sya'ban. Lepas dari kuat tidaknya dalil mengenai amalam pada malam tersebut, namun malam itu bisa kita jadikan waktu pengingat kembali akan persiapan-persiapan kita dalam menyambut bulan Ramadhan yang penuh maghfirah. Berikut ini hadist-hadist seputar keutamaan bulan Sys'ban semoga bisa kita baca dan amalkan:
Dari Aisyah r.a. beliau berkata:"Rasulullah s.a.w. berpuasa hingga kita mengatakan tidak pernah tidak puasa, dan beliau berbuka (tidak puasa) hingga kita mengatakan tidak puasa, tapi aku tidak pernah melihat beliau menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau memperbanyak puasa selain bulan Ramadhan kecuali pada bulan Sya'ban". (h.r. Bukhari). Beliau juga bersabda:"Kerjakanlah ibadah apa yang engkau mampu, sesungguhnya Allah tidak pernah bosan hingga kalian bosan".

Usamah bin Zaid bertanya kepada Rasulullah s.a.w.:'Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu memperbanyak berpuasa (selain Ramadhan) kecuali pada bulan Sya'ban? Rasulullah s.a.w. menjawab:"Itu bulan dimana manusia banyak melupakannya antara Rajab dan Ramadhan, di bulan itu perbuatan dan amal baik diangkat ke Tuhan semesta alam, maka aku ingin ketika amalku diangkat, aku dalam keadaan puasa". (h.r. Abu Dawud dan Nasa'i).

Dari A'isyah: "Suatu malam rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: "Hai A'isyah engkau tidak dapat bagian?". Lalu aku menjawab: "Tidak ya Rasulullah, aku hanya berfikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama". Lalu beliau bertanya: "Tahukah engkau, malam apa sekarang ini". "Rasulullah yang lebih tahu", jawabku. "Malam ini adalah malam nisfu Sya'ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Ia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki" (H.R. Baihaqi) Menurut perawinya hadis ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke Sahabat), namun cukup kuat.

Dalam hadis Ali, Rasulullah bersabda: "Malam nisfu Sya'ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun ke langit dunia pada malam itu, lalu Allah bersabda: "Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing." (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).

Ulama berpendapat bahwa hadis lemah dapat digunakan untuk Fadlail A'mal (keutamaan amal). Walaupun hadis-hadis tersebut tidak sahih, namun melihat dari hadis-hadis lain yang menunjukkan kautamaan bulan Sya'ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya'ban jelas mempunyai keuatamana dibandingkan dengan malam-malam lainnya.

Bagaimana merayakan malam Nisfu Sya'ban? Adalah dengan memperbanyak ibadah dan salat malam dan dengan puasa. Adapun meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan berlebih-lebihan seperti dengan salat malam berjamaah, Rasulullah tidak pernah melakukannya. Sebagian umat Islam juga mengenang malam ini sebagai malam diubahnya kiblat dari masjidil Aqsa ke arah Ka'bah.

Jadi sangat dianjurkan untuk meramaikan malam Nisfu Sya'ban dengan cara memperbanyak ibadah, salat, zikir membaca al-Qur'an, berdo'a dan amal-amal salih lainnya. Wallahu a'lam

Oleh : Dewan Asatidz(pesantrenvirtual)
Baca Selengkapnya......