Senin, 15 September 2008

Halal Bi Halal

Istilah halalbihalal (menulisnya digandeng, jangan dipisah-pisah), meskipun kedengarannya seperti istilah Arab, sebenarnya ‘asli’ Indonesia atau setidaknya Melayu. Meski bahan bakunya (halal dan bi) dari Arab, orang Indonesia/Melayulah yang merakitnya menjadi istilah sendiri.
Di Arab sendiri- dalam kamus-kamus Arab maupun percakapan sehari-hari-istilah halal bihalal termasuk pengertiannya, tidak ada dan tidak dikenal.
Istilah halalbihalal dan pengertiannya memang khas Indonesia. Menurut KBBI, halalbihalal ialah acara maaf-memaafkan pada hari lebaran. Ini tradisi baik sekali yang hanya dijumpai di Indonesia/Melayu, meskipun sayang kini sudah mengalami degradasi.
Tradisi maaf-memaafkan di lebaran, setelah puasa Ramadhan ini merupakan salah satu bukti kearifan pendahulu-pendahulu kita yang pertama-tama mentradisikannya. Dulu, sebelum orang terlalu sibuk seperti sekarang, apabila datang lebaran, sehabis shalat ‘Id, masyarakat saling mengunjungi dan saling meminta maaf.

Saya masih sempat menyaksikan orang-orang tua dulu meminta maaf kepada sahabat, kerabat, atau saudara mereka dengan ungkapan penyesalan yang rinci agar mendapatkan pemaafan. Bukan hanya meminta maaf, tapi juga meminta halal apabila ada hak Adami yang termakan atau terpakai dengan sengaja atau tidak sengaja. Mereka yang dimintai maaf dan dimintai halal, biasanya dengan mudah memberikannya sambil balik meminta yang sama. Mereka saling memaafkan dan saling menghalalkan. Halalbihalal.
Para pendahulu yang mentradisikan tradisi mulia ini pasti tahu bahwa Rasulullah SAW menjamin mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan semata-mata hanya karena iman dan mencari pahala Allah, akan diampuni dosa-dosa mereka yang sudah-sudah.“Man shaama Ramadhaana iimaanan wah tisaaban, ghufira lahu maa taqaddaa min dzambihi.” (Hadits shahih muttafaq ‘alaih dari sahabat Abu Hurairah r.a).
Hebatnya, mereka para pendahulu itu, juga tidak lupa bahwa selain dosa hamba kepada Tuhannya, masih ada satu dosa lagi yang justru lebih perlu diperhatikan; yaitu dosa hamba kepada sesamanya. Di banding dosa kita kepada Allah, dosa kita kepada sesama sebenarnya jauh lebih gawat. Kenapa? Karena Allah, seperti kita ketahui, Maha Pengampun dan suka mengampuni. Sementar, manusia tidak demikian. Manusia sulit. Padahal, dosa kita terhadap sesama tidak akan diampuni sebelum yang bersangkutan memaafkan. Tanggungan kita kepada sesama akan tetap menjadi tanggungan kita, sebelum yang bersangkutan menghalalkannya.
Rasulullah SAW berpesan agar apabila diantara kita ada yang mempunyai kesalahan kepada seseorang, apakah menyangkut kehormatannya atau apa, hendaklah dimintakan halal sekarang juga sebelum uang dinar dan dirham tidak lagi ada gunanya; jika (tidak,) bila dia mempunyai amal saleh, nanti akan diambil dari amalnya itu seukur kesalahannya dan bila tidak memiliki kebaikan, akan diambil dari dosa-dosa orang yang disalahinya dan dibebankan kepadanya “Man kaanat lahu mazhlumatun liahadin min ‘irdhihi au syai-in falyatahallalhu minhu alyauma qabla an laa yakuuna diinarun walaa dirhamun; in kaana lahu ‘amalun shaalihun ukhidza minhu biqadri mazhlumatihi, wain lam takun lahu hasanaatun ukhidza min sayyiaati shaahibihi fahumila ‘alaihi.” (HS riwayat Imam Bukhari dari sahabat Abu Hurairah r.a)
Marilah kita ingat-ingat, apakah kita pernah menyakiti sesama. mungkin kita tidak sengaja pernah mengucapkan kata-kata yang melukai saudara kita. Kadang-kadang, karena kita merasa berniat baik, menegur kawan untuk memperbaikinya, lalu kita mengabaikan kesantunan bicara kita dan menyinggung perasaan kawan kita itu. Mungkin kita sudah berhati-hati, tapi tetap saja ada sikap kita yang membuat orang lain sakit hati. Maka adalah bijaksana, apabila dalam kesempatan lebaran ini-setelah mengharap dosa-dosa kita kepada Allah diampuni-kita memerlukan meminta maaf dan meminta halal terutama kepada mereka yang kita perkirakan pernah kita salahi.
Saya sendiri dalam kesempatan ini juga ingin menyampaikan tahniah ‘Id kepada segenap pembaca dan dengan kerendahan hati memohon maaf lahir batin atas segala kekhilafan dan kesalahan saya. ‘Iedun sa’ied, a’aadahuLlahu ‘alaikum bissaaadati walkhairi warrafaahiyah wakullu ‘aamin wa antum bikhair.


Oleh: A. Mustofa Bisri
Baca Selengkapnya......

NUZULUL QURAN

Bulan Ramadan menjadi sangat istimewa terutama karena pada bulan ini, kitab suci Quran turun, nuzuulu al-Quran al-kariim. Itulah antara lain sebabnya –menurut beberapa hadis sahih-- setiap malam bulan Ramadan, malaikat Jibril turun menemui Rasulullah SAW untuk ‘bertadarus’ bersama.

Quran boleh jadi merupakan satu-satunya kitab suci Allah yang paling banyak dihafal dan dibaca. Quran dibaca tanpa mengerti artinya pun mendatangkan pahala. Mereka yang membacanya dengan lancar dijanjikan akan bersama-sama para rasul yang mulia dan mereka yang membacanya gratul-gratul, tidak lancar akan diganjar double. Demikian menurut hadis shahih riwayat imam Muslim dari sayyidah A’isyah r.a.

Quran adalah KalamuLlah yang juga selalu dikatakan oleh setiap muslim –dan seharusnya memang—menjadi pedoman hidup. Bahkan Quran yang turun secara bertahap telah membentuk kepribadian pemimpin agung Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW yang diibaratkan sebagai ‘Quran berjalan’, adalah sosok manusia teladan yang sempurna. Rasulullah SAW yang diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan budi pekerti yang luhur, al-akhlaaqul kariimah, adalah orang yang paling luhur akhlaknya. Rasulullah-lah orang pertama yang mengamalkan Quran.


Meskipun kita, kaum muslimin, tidak menangi, tidak mengalami hidup bersama, Kanjeng Nabi Muhammad SAW , sebenarnya kita pun tidak kesulitan mengikuti jejak dan meneladaninya. Karena Quran yang menjadi pedoman, secara otentik masih ada di tengah-tengah kita. Apalagi sejarah tentang pribadi Rasulullah SAW dengan mudah kita dapatkan dan baca.
Tapi mengapa kita –termasuk banyak tokoh yang dianggap pemimpin—kaum muslimin seperti tidak menggunakan Quran sebagai pedoman dan menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan hidup? Rasulullah SAW misalnya, sesuai firman Allah SWT dalam Quran, tidak pernah tertipu oleh dunia dan kemilau materi; tapi kita –termasuk yang dijuluki pemimpin agama—masih banyak yang tergiur dunia dan menganggap materi sebagai yang paling pokok.
Raslullah SAW, sesuai firman Allah dalam Quran, sangat santun dan lembut; apabila berbicara tidak kasar; tapi ada saja di antara kita kiai atau ustadz --bahkan hafal Quran—yang dengan fasih mencaci-maki orang. Rasulullah SAW, sesuai ajaran Quran, bila beramar-makruf-nahi-munkar, dilandasi kasih-sayang, dengan cara makruf dan tidak munkar; bicaranya tidak pernah menyinggung pribadi; tapi sekarang, ada saja –dan mungkin banyak—mereka yang dijuluki da’I, sarjana agama, bila beramar-makruf-nahi-munkar dilandasi kebencian, tidak dengan cara makruf dan belum merasa puas bila tidak melukai pribadi-pribadi. Mengapa?

Mungkin hal ini semua bisa kita kembalikan kepada sikap kita terhadap Quran selama ini. Jangan-jangan, selama ini, Quran hanya lebih kita anggap sebagai jimat; atau untuk nyuwuk; atau hanya kita baca setiap Ramadan secara ngebut seperti mengejar setoran (Toh sudah dapat pahala). Atau lebih jauh, Quran kita telaah untuk mencari dalil pembenar bagi sikap atau kepentingan duniawi kita.
Itulah sebabnya beberapa kali saya mengusulkan agar MUI –dari pada hanya mengeluarkan fatwa-fatwa kontroversial—melakukan survey yang serius tentang perlakuan kaum muslimin terhadap kitab sucinya, Quran ini. Kaum muslimin yang mayoritas di negeri ini, berapa persenkah yang membaca Quran? Dari sekian persen yang membaca Quran itu, berapa persen yang mengerti maknanya? Dari sekian persen yang mengerti maknanya itu, berapa persen yang mengamalkannya? Kalau MUI atau organisasi-organisasi Islam yang lain tidak mampu, bisa minta tolong kepada salah satu lembaga-lembaga survey yang biasa mensurvey hasil pemilu atau pilkada itu.

Jika hal itu dilakukan, insyaAllah hasilnya akan bisa menjawab banyak pertanyaan; misalnya, kenapa banyak kaum muslimin yang kelakuannya bertentangan dengan Quran dan tidak sesuai dengan teladan Rasul mereka seperti beberapa yang saya contohkan di atas. Dan tidak mustahil hasil survey itu bisa menjadi bahan utama untuk memecahkan banyak permasalah bangsa; mengingat bahwa kaum muslimin, pemilik Quran, adalah mayoritas penduduk negeri ini.

Wallahu a’lam.

Oleh: A. Mustofa Bisri
Baca Selengkapnya......

Senin, 01 September 2008

MARHABAN YA RAMADHAN

Oleh: A. Mustofa Bisri

Setiap kali datang bulan Ramadan, kaum muslimin menyambutnya dengan menyatakan ”Marhaban ya Ramadhan!”, ”Selamat Datang, Ramadan!”. Seolah-olah Ramadan merupakan tamu yang dinanti-nantikan kedatangannya.
Tapi tamu yang dinanti-nantikan kedatangannya, belum tentu karena tamunya itu sendiri. Sering kali orang menanti-nanti kedatangan tamu karena mengetahui dan mendambakan apa –atau apa-apa-- yang dibawa si tamu.
Mungkin memang ada yang menanti-nanti datangnya bulan Ramadan karena alasan yang bersifat relegi atau bahkan spiritual; namun banyak yang menyambut bulan itu justru karena keistimewaan-keistimewaan duniawi yang menyertainya.
Industri pertelevisian misalnya, jauh-jauh hari –jauh sebelum para kiai pesantren menyusun jadwal pengajian pasanan— sudah menyiapkan jadwal acara yang akan ditayangkan selama bulan Ramadan. Artis-artis dan ustadz-ustadz metropolitan jauh-jauh hari sudah banyak yang dikontrak untuk mengisi acara-acara bulan suci. Pedagang-pedagang jauh-jauh hari sudah ancang-ancang menaikkan harga kebutuhan-kebutuhan pokok, terutama makanan. Ibu-ibu rumah tangga banyak yang sudah menyiapkan menu-menu istimewa yang akan disuguhkan dalam acara-acara buka dan sahur nanti. Instansi-instansi dan ormas-ormas (orpol-opol tentu tidak mau ketinggalan) sudah menyusun agenda buka bersama dengan acara-acara ’kerohanian’ dan atau sekaligus konsolidasi. Bagi mereka yang menjadi calon dan menghadapi pilihan-pilihan --pilkada; pilgub; pileg pilihan legislatif)— bulan Ramadan (ada yang menyebut ’Bulan Kemenangan’) tentulah merupakan medan yang sangat diperhitungkan kaitannya dengan taktik-strategi pemenangan.

Yang mungkin tidak jelas niat dan tujuannya adalah mereka yang menyongsong bulan suci Ramadan ini dengan agenda melakukan swiping, termasuk menswiping warung-warung yang buka di siang hari. Untuk menghormati bulan Ramadan ataukah untuk membantu mereka agar kuat puasa karena tidak banyak godaan?
Tanpa dihormati, bulan Ramadan sudah sangat terhormat. Ramadan sangat terhormat terutama karena pada bulan ini Kitab suci Al-Quran diturunkan (Baca Q. 2: 185). Pada bulan ini, seperti diberitakan oleh Rasulullah SAW, pintu sorga dibuka (HR Bukhori Muslim dari shahabat Abu Hurairah).
Justru karena keterhormatan Ramadan itulah, kaum beriman dengan gairah, menunggu-nunggu kedatangannya. Mereka ingin mendapatkan berkahnya. Terloberi keterhormatannya. Pada bulan suci, bulan dimana diturunkan kitab suci ini, mereka ingin benar-benar mensucikan diri; setelah sebelas bulan boleh jadi tergelepoti oleh noda-noda yang menghambat perjalanan mereka menuju hadiratNya.
Pada bulan dimana pintu sorga dibuka, adalah kesempatan emas bagi mereka yang ingin memasukinya. ”Semua umatku masuk sorga;” sabda Rasulullah SAW, ”kecuali mereka yang tidak mau.” Adakah orang yang tidak mau atau tidak ingin masuk sorga? Mungkin setiap mulut akan menjawab, tidak ada. Semua orang mau dan ingin masuk sorga. Hanya saja jawaban mulut ini masih perlu diuji dengan perilaku dan perbuatan. Bila misalnya sorga berada di barat dan Rasulullah SAW menuju kesana; sekalipun Anda mengatakan mau dan ingin masuk sorga, tapi Anda berjalan menuju ke timur, siapakah yang percaya Anda mau dan ingin ke sorga?
Memang mulut kita sering kali berbeda bahkan berlawanan dengan tindakan kita. Mulut kita mengatakan, misalnya, politik itu kotor, tapi kita tak juga beranjak pergi dari kubangan politik. Mulut kita mengkritik dan mengatakan wakil rakyat brengsek, tapi kita terus berlomba mendaftarkan diri jadi calon wakil rakyat. Kita berteriak-teriak hormatilah bulan suci Ramadan, tapi tindakan kita justru menodainya. Tentu karena inilah, kelak di hari kiamat, mulut-mulut kita dikunci dan tangan-tangan kita yang berbicara, kaki-kaki kita yang bersaksi (Baca Q. 36: 65).
Di bulan Ramadan lagi-lagi Allah menunjukkan rahmatNya kepada kita, hamba-hambaNya ini. Ia menjadikan bulan suci ini waktu khusus untuk kita melatih diri menjadi manusia yang lurus dan jujur. Lurus dan jujur kepada diri sendiri dan kepadaNya.
Lurus dan jujur dalam pengabdian. Lurus dan jujur dalam beribadah kepadaNya. Sesuatu yang manfaatnya kembali kepada diri kita sendiri.
Dalam berpuasa, tak ada seorang pun yang tahu apakah kita benar-benar berpuasa atau apalagi apakah kita benar-benar berpuasa karena Allah? Tidak ada yang tahu kecuali Allah. Ramadan hanyalah antara kita dan Allah. Maka puasa Ramadan Ia sendiri yang akan mengganjarnya.
Marhaban ya Ramadhan, Selamat Datang Ramadan!
Baca Selengkapnya......